ANTROPOLOGI PERJANJIAN BARU (KAJIAN TEOLOGI BIBLIKA) by: Jefri Wungow

Abstrak

Antropologi dalam Perjanjian Baru merupakan bagian yang tak terpisahkan dari antropologi Perjanjian Lama. Konsep antropologi PL dan PB dibangun di atas dasar doktrin manusia sebagai “gambar Allah” dan fakta tentang kejatuhan manusia. Penulis-penulis Injil mengonfirmasi bahwa manusia tetaplah gambar Allah yang berharga walaupun telah jatuh. Penulis-penulis Injil terutama menampilkan Yesus Kristus sebagai sosok manusia sejati yang sempurna yang harus menjadi patron manusia pada umumnya. Dalam antropologi Paulus, struktur manusia yang terdiri dari berbagai segi dipaparkan lebih kuat: psukhe, pneuma, kardia, nous, sarx. Secara umum PB memberikan rujukan tentang perbedaan jiwa dan roh yang secara samar dipakai bergantian dalam PL.

I. Pendahuluan

Perjanjian Baru mengkonfirmasi kebenaran Perjanjian Lama tentang manusia yang merupakan bagian terpenting dalam seluruh ciptaan, sebagai imago Dei. Walaupun tidak boleh diabaikan namun perlu diperhatikan supaya tidak terlalu memberikan penekanan pada ajaran ini. Penekanan pada antropologi telah dilakukan oleh Bultman ketika membahas teologi Paulus. Akibatnya Bultman tidak dapat menghindarkan diri dari pendekatan antroposentris pada teologi Paulus, yang pada akhirnya menyangkal ajaran itu sebagai penyataan Allah.[1] Dr. G.C. van Niftrik dan Dr. B.J. Boland mengingatkan kita untuk tidak memberi penekanan kepada apa yang bukan pokok dan pusat berita Alkitab.[2]

II. Antropologi dalam Injil dan Kisah Para Rasul

a. Figur Manusia Sejati

Ecce homo”, kata inilah yang akan digunakan Pilatus jika ia menggunakan bahasa latin ketika ia menunjuk kepada Yesus, “Lihatlah manusia itu” (Yoh. 19:5). Tanpa sadar Pilatus telah mengucapkan suatu perkataan yang mengandung kebenaran yang dalam, yakni: siapa yang mau tahu apa sebenarnya manusia itu, haruslah memandang kepada Yesus Kristus. Yesus Kristus bukan hanya menyatakan kepada kita siapa dan bagaimana Allah itu, tetapi juga siapa dan bagaimana kita manusia.[3] Dia adalah Allah sejati tetapi juga manusia sejati, artinya Yesus sebagai manusia secara utuh memperlihatkan citra manusia yang sempurna.

Namun kehadiran Yesus tidak hanya menjawab pertanyaan, “siapa manusia sebagai gambar Allah?” tetapi juga menjawab pertanyaan, “siapa manusia sebagai pendosa?” Pertanyaan ini terjawab dengan jelas dalam solidaritas Yesus Kristus dengan para pendosa ini. Dalam kehadiran-Nya tampaklah bahwa manusia masih tetap gambar Allah setelah jatuh dalam dosa dan bahwa ada jalan kembali kepada Allah.[4]

Para penulis Injil memperhatikan kehidupan Yesus sebagai manusia sempurna, namun tidak memandang-Nya sebagai seorang yang mandiri secara total. Kemanusiaan-Nya yang sempurna itu selalu dilihat dalam hubungan dengan Allah, artinya dalam keadaan-Nya sebagai manusia, Yesus memiliki ketergantungan total kepada Allah (Yoh. 5:17, 19, 26, 43; 6:38; 7:1; 8:28; 10:25, 30). Kemanusiaan yang sejati harus mencakup unsur kebergantungan manusia. Pandangan yang menolak hal ini berlawanan secara mutlak dengan kemanusiaan Yesus. Jadi jelaslah bahwa para penulis Injil (khususnya Yohanes) ingin memperlihatkan kepada kita gambaran yang sempurna mengenai manusia melalui diri Yesus.[5]

b. Nilai manusia

Dalam Matius 10:31; 12:10, 11 memberi keterangan tentang nilai manusia yang lebih unggul dari binatang. Masih dalam konteks yang sama, Yesus menyebutkan bahwa rambut kepala sesorang pun terhitung semuanya (Mat. 10:30). Hal ini merupakan cara yang mencolok untuk menekaankan bukan hanya pemeliharaan Allah tetapi juga nilai manusia.Namun tidak berarti semua manusia, apa pun keadaan dan sikap mereka terhadap Allah, mempunyai nilai yang sama dalam pandangan-Nya. Dengan memberi syarat (pertobatan dan iman) untuk menjadi “anak-anak Allah”, hal itu berarti memberi batasan; Allah itu Bapa bagi semua manusia hanya dalam konteks penciptaan.[6]

Selanjutnya Yesus menekankan nilai manusia daripada prestasi, milik dan kuasanya. Yesus berdasarkan prinsip prioritas lebih memperhatikan manusia sebagaimana adanya dan bukan menurut apa yang dimilikinya (Mat. 16:26; Mrk. 8:37; Luk. 9:25). Bahkan walaupun manusia tidak memiliki fisik yang ideal (cacat fisik) tetapi memperoleh keadaan manusia yang utuh, jauh lebih berharga daripada memiliki fisik utuh tetapi kehilangan keutuhan kemanusiaan itu sendiri (Mrk. 9:43-47).

Jadi meskipun manusia telah jatuh dalam dosa dan berlawanan dengan Allah, manusia tetap memiliki nilai yang tinggi dalam pandangan Allah. Inkarnasi, Firman menjadi daging adalah bukti cukup kasih sayang Allah kepada manusia.

c. Manusia dan sesamanya

Gambaran Yesus sebagai manusia sempurna tidak pernah hidup lepas dari sesama manusia. Melalui teladan diri-Nya yang datang menjumpai manusia dalam keadaan mereka yang berdosa dan menderita, seperti kawanan domba tak bergembala, serta melalui pengaran-pengajaran-Nya (contoh: Khotbah di Bukit, Mat. 5), Yesus dengan jelas menyatakan bahwa manusia tidak pernah dimaksudkan untuk hidup sendiri tanpa peduli manusia di sekitarnya.[7]

Dalam Kis. 4 memberikan kesaksian tentang adanya praktek rasa sosial yang kuat khususnya di antara orang-orang Kristen mula-mula. Rasa solidaritas yang tinggi membuat mereka ingin membagi-bagikan seluruh miliknya dengan sukarela.

d. Manusia dan tanggung jawab pribadi

Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah, diharapkan untuk mentaati peraturan-peraturan Allah (Kis. 5:29, 32). Ketaatan yang dituntut Yesus bukanlah seperti belenggu yang mengikat kebebasan jiwa manusia, tetapi merupakan penyerahan sepenuh hati padas kehendak Allah yang sempurna. Manusia sejati terdapat dalam kehidupan yang taat kepada Allah. Hal ini diteladankan oleh Yesus (Bdk. Luk. 17:10, Mat. 10:38; 16:24).[8]

            Dalam Kisah Para Rasul 7:39 dst., Stefanus mengingatkan bahwa ketidaktaatan orang-orang Israel kepada Allah telah menyebabkan penghukuman dan penderitaan.

e. Kesetaraan orang Yahudi dan non-Yahudi

            Tema kesetaraan orang Yahudi dan non-Yahudi di hadapan Allah menjadi tema yang istimewa dalam KPR. Tema kesetaraan ini adalah hal yang sangat sulit diterima pada abad pertama, terutama di kalangan Yahudi. Untuk meyakinkan Petrus, diperlukan suatu intervensi supranatural khusus dan langsung dari Allah (Kis. 10, 11).[9]

III. Antropologi Paulus

            Di antara semua penulis PB, Pauluslah yang memberi uraian yang peling lengkap mengenai manusia. Paulus menggunakan istilah-istilah untuk menggambarkan berbagai segi manusia:

a. Psukhe (nyawa)

Digunakan 13 kali untuk menunjuk hidup manusia (Rm. 11:3; 16:4; Flp. 2:30).[10] Paulus tidak melihat psukhe sebagai keabadian dalam diri manusia juga bukan sebagai aspek spiritual. Paulus memakai psukhe untuk menyebut kehidupan natural manusia (Rm. 11:3; 16;4; 1Tes. 2:8). Dalam 1 Korintus 15:4dst., Paulus menyebut Adam sebagai “jiwa yang hidup” dan mengontraskannya dengan Yesus sebagai “roh yang menghidupkan.” Ia juga membedakan tubuh jiwani (LAI: tubuh alamiah) yang ditaburkan dalam kelemahan dan tubuh rohaniah yang akan dibangkitkan.[11]

b. Pneuma (roh)

Pneuma menggambarkan suatu keadaan khas Kristen yang memisahkan orang Kristen dari orang yang bukan Kristen yang tidak memilikinya. Pneuma merupakan antitesis dari dari sarx (daging). Pneuma merupakan bagian dalam diri manusia yang mampu menanggapi pengaruh ilahi (Rm. 8:16). Bagi orang percaya, pneuma berarti manusia yang seutuhnya terikat pada Allah, didorong dan digerakkan oleh Allah, hal di mana mustahil bagi orang-orang yang tidak beriman (1Kor. 2:14).

Dalam 1 Korintus 16:18; 2 Korintus 2:13; 7:13, pneuma tidak digunakan dalam arti “angin” atau “nafas” tetapi “pikiran”. Pneuma berarti keadaan manusia yang lebih tinggi, yang tidak semata-mata baik dan tidak pula jahat. Pneuma dapat dicemarkan (2Kor. 7:1), dan dapat pula dikuduskan (1Kor. 7:34). Menurut Paulus pneuma orang Kristen harus dikuasai oleh Roh Allah.[12]

            Walaupun Riderbos menyamakan pneuma dengan psukhe bahkan sarx,[13] pendapat Guthrie lebih dapat diterima bahwa pneuma dan psukhe tidak pernah disamakan dalam tulisan Paulus. Paulus memakai istilah pneuma dalam arti yang lebih luas sehubungan dengan pertobatan yang diprakarsai oleh Roh Allah sedangkan pengertian psukhe terlalu berpusat pada manusia itu sendiri.[14]

c. Kardia (hati)

Hati menjabarkan intelektual (Mat. 15:19-20) juga bagian dari kehendak manusia (Rm. 10:9-10), hasrat, aspirasi dan keputusan-keputusan baik dalam relasinya dengan Allah atau dengan dunia sekelilingnya.[15] Secara teologis, kardia menunjuk kepada manusia dalam kualitas moral-religiusnya. Dalam kaitannya dengan akal budi (nous), kardia memiliki pengertian yang lebih luas walaupun kadang sulit menemukan batasannya. Dalam Roma 2:5, pertobatan (pembalikan nous) adalah masalah hati.[16]

Dalam beberapa hal kardia digunakan dalam arti batin manusia yang utuh. Paulus memandang hati manusia sebagai “pelaku iman” (Rm. 10:10); terang Allah bercahaya di dalam hati (2Kor. 4:6); Roh berdiam di dalam hati sebagai jaminan (2Kor. 1:22). Kardia juga bisa bersikeras dan tidak mau bertobat sehingga menimbum murka Allah (Rm. 2:5). Selain bisa tidak taat juga bisa taat (Rm. 6:17).[17]

d. Nous (akal budi)

Paulus sering memakai dan mengaitkan kardia dan nous. Nous berarti akal budi tetapi juga berarti penilaian yang baik. Namun nous juga memiliki arti yang lebih luas. Dalam Roma 12:2, nous dikaitkan dengan pengenalan akan Allah. Kita memerlukan pembaruan nous untuk pengenalan akan Allah. Nous orang Kristen menjalankan fungsi penting ini. Nous juga adalah kapasitas teoritis yang menjadi “pusat” yang menentukan tindakan seseorang.[18]

Bagi orang tidak percaya nous telah tercemar (Rm. 1:28), dibutakan oleh setan (2Kor. 4:4), digelapkan dan sia-sia (Ef. 4:17) dan karenanya tidak mengakui Allah sehingga nilainya menjadi rendah (adokimos) dan mengakibatkan perilaku yang tidak pantas (Rm. 1:28).[19]  Pada dasarnya nous bersifat netral. Kedudukan moralnya ditentukan oleh pihak mana yang menguasainya, Roh atau daging.[20]

e. Suneidesis (hati nurani, suara hati)

            Arti dasar suneidesis adalah pengetahuan mengenai suatu tindakan, disertai penilaian tentang tindakan itu. Hati nurani menunjukkan bahwa manusia sadar akan dirinya sebagai makhluk rasional. Dalam Roma 2;15 secara tidak langsung Paulus menyatakan bahwa semua manusia memiliki suara hati. Dengan demikian semua orang mempunyai kemampuan untuk menentukan apa yang benar, meskipun Paulus tidak mengajukan patokan bagi penetapan yang benar itu.

            Fungsi suara hati tidak untuk membenarkan diri sendiri karena Tuhan-lah yang menghakimi (1Kor. 4:4). Di lain pihak jika tidak dituruti, suara hati dapat dinodai, dan akhirnya menjadi keras.[21]

f. Sarx (daging)

Sarx biasanya digunakan untuk menyatakan manusia dalam kelemahannya. Pada dasarnya sarx bertentangan dengan Allah. Namun demikian sarx tidak menunjukkan sifat manusia yang lebih rendah harkatnya, tetapi menggambarkan manusia seutuhnya dalam keadaannya yang jauh dari Allah.

Paulus juga melihat sarx sebagai wadah kegiatan yang mengakibatkan dosa, bahkan merangsang tindakan dosa selanjutnya. Karena itu, sarx berhubungan erat dengan hawa nafsu. Dalam Galatia 5:19, Paulus mendaftar 15 jenis perbuatan dosa sebagai “buah” dari daging yang berlawanan dengan buah Roh di ayat-ayat selanjutnya.

Dalam Roma 7, Paulus memaparkan tentang suatu pergumulan batiniah yang besar, di mana sarx memegang peranan penting. Waktu seseorang belum percaya kepada Yesus, hidupnya dikuasai daging. Ketika percaya maka yang terjadi selanjutnya adalah pergumulan antara “aku” yang dipengaruhi daging dengan “aku” yang ingin melakukan kehendak Allah. Jadi daging di sini menunjukkan betapa dahsyatnya pengaruh manusia duniawi yang menghalangi, ketika Paulus diperhadapkan pada suatu pengenalan tentang apa yang benar.  Jadi Paulus melihat keselamatan sebagai suatu proses yang terus-menerus untuk mengatasi pengaruh sarx yang menghalangi.[22]

g. Soma (tubuh)

            Tidak seperti sarx, soma dapat diubah. Tubuh dijelaskan sebagai hal yang fana (Rm. 8:10), tetapi Allah dapat menghidupkannya melalui Roh. Tujuan sesungguhnya dari tubuh ialah sebagai Bait Roh Kudus, karena itu Allah dapat dimuliakan di dalam tubuh itu (1Kor. 6:19-20), jika kita mempersembahkan tubuh itu kepada Tuhan (Rm. 12:1). Inilah bedanya tubuh dengan daging (sarx) dan juga keunggulannya.Tubuh akan dibangkitkan dan dibebaskan (Rm. 8:23). Tubuh yang fana ini akan diubah sehingga serupa dengan tubuh Kristus yang mulia (Flp. 3:21).

            Paulus juga mengakui bahwa adanya sifat dosa di dalam tubuh. Dalam Roma 6:6 ia memakai ungkapan “tubuh dosa” dan berbicara mengenai kebinasaannya supaya kita jangan menghambakan diri lagi kepada dosa. Dalam Roma 7:24, Paulus mengajukan suatu pertanyaan retoris, “Siapakah yang akan melepaskan aku dari tubuh maut ini?”. Ungkapan ini menjelaskan sifat tubuh, yaitu bahwa tubuh ditentukan untuk mati.[23]

h. Pokok-pokok lain

  • Paulus memandang manusia sebagai makhluk yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah sebagai asal usul manusia (1Kor. 11:7)
  • Manusia dalam keutuhannya diharapkan untuk memuliakan Allah karena pada dasarnya manusia tidak memuliakan Allah (Rm. 1:21).
  • Manusia tidak dapat membebaskan dirinya dari tanggung jawab atas penolakannya terhadap Allah, karena Allah telah memberikan kemampuan untuk mengerti (Rm. 2:14-15)
  • Paulus membedakan manusia duniawi (psukhikos) dengan manusia rohani (pneumatikos). Manusia rohani memiliki pneuma, sedangkan manusia duniawi tidak memilikinya. Manusia rohani memperoleh hidup dari Roh sedangkan manusia duniawi dari sumber duniawi (khoikos).
  • Semua orang memiliki kedudukan sama di hadapan Allah. Bukan saja dinyatakan semua manusia berdosa tetapi juga tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, kebangsaan, dan kedudukan sosial.

IV. Apakah manusia merupakan satu, dua atau tiga bagian?

            Masalah yang mempertanyakan apakah Paulus menganggap manusia sebagai satu kesatuan, atau terdiri dari dua atau tiga bagian agak bersifat akademis, tetapi kita dapat mengatakan bahwa keterangan yang menyatakan manusia terdiri dari tiga bagian hanya terdapat dalam 1 Tesalonika 5:23. Walaupun dalam pemikiran Ibraninya bahwa manusia itu satu kesatuan tetapi ketika ia memperkenalkan unsur rohani ia menggunakan cara yang asing bagi pemikiran Ibrani. Dalam hal ini Paulus sepertinya memiliki gagasan ganda. Namun jika dibandingkan dengan Ibrani 4:12 bahwa firman Allah dapat menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa (psukhe) dan roh (pneuma), maka tampaknya ada perbedaan antara jiwa dan roh. Jika kata “roh” berarti kemanusiaan yang utuh dalam kaitannya dengan Allah dan “jiwa” berarti kemanusiaan yang seutuhnya tanpa ada kaitan dengan Allah, maka pemisahan melalui firman Allah dapat dimengerti. Hal ini dudukung juga oleh penggunaan kata “roh” dan “jiwa” dalam Ibrani 12:9, 23.[24]

V. Kesimpulan

PB tidak membahas tentang hakikat manusia secara panjang lebar. Pandangan PB mengenai manusia harus disimpulkan dari bahan-bahan yang berbeda-beda. Pauluslah  yang paling mendekati suatu ulasan psikologis tetapi pandangannya tidak tersusun secara sistematis. PB secara umum membedakan manusia dalam hal hubungannya dengan Allah. Keadaan manusia seutuhnya dilihat dari adanya hubungan dengan Allah (bersifat rohani) atau tidak adanya hubungan dengan Allah (bersifat jasmaniah saja). Pembedaan inilah yang merupakan pengantar pada ajaran PB tentang dosa. Unsur utama dalam pandangan PB tentang manusia ialahbahwa manusia dalam keadaannya sekarang, terlepas darianugerah Allah dalam Kristus, tidak lagi mencerminkangambaran sejati Penciptanya.sebuah rencana keselamatanditujukan untuk memperbaiki kerusakan itu. Manusia jelas lebih unggul dari binatang dan mampu memuliakan Allah. Hubungan antara laki-laki dan perempuan setara. Pandangan Yesus bersifat revolusioner dengan memberikan kedudukan yang terhormat pada kaum perempuan demikian juga ajaran Paulus. Selanjutnya PB menampilkan Yesus sebagai manusia yang ideal dan sempurna. Hanya Yesus yang dengan sempurna telan melaksanakan maksud Allah bagi umat manusia.

KEPUSTAKAAN

Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru jld. 1. Jakarta: BPK Gunung    Mulia, 2011

Dogmatika Masa Kini (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006

Arie Jan Plaisier, Manusia Gambar Allah (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002)

Herman Ridderbos, Paulus Pemikiran Utama Theologinya (Surabaya: Momentum, 2008 Paul Enns, The Moody Handbook of Theology (Malang: SAAT, 2006


[1] Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru jld. 1 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), 149

[2] Dogmatika Masa Kini (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 178

[3] Ibid., 132

[4] Arie Jan Plaisier, Manusia Gambar Allah (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), 91

[5] Guthrie, Teologi PB, 159-160

[6] Ibid., 150-151

[7] Niftrik & Boland, Dogmatika, 133-134

[8] Guthrie, Teologi PB, 153-154

[9] Ibid., 163-164

[10] Ibid., 167

[11] Herman Ridderbos, Paulus Pemikiran Utama Theologinya (Surabaya: Momentum, 2008), 118

[12] Guthrie, Teologi PB, 169-172

[13] Ridderbos, Paulus, 119

[14] Guthrie, Teologi PB, 172

[15] Paul Enns, The Moody Handbook of Theology (Malang: SAAT, 2006), 379

[16] Ridderbos, Paulus, 117

[17] Guthrie, Teologi PB, 173

[18] Ridderbos, Paulus, 116

[19] Enns, The Moody, 379

[20] Guthrie, Teologi PB, 174

[21] Ibid., 176-177

[22] Ibid., 179-181

[23] Ibid., 182

[24] Ibid.,184, 191

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *