Pendahuluan
Pada tanggal 31 Oktober 2017 gereja-gereja Protestan di seluruh dunia akan memperingati suatu hari dan suatu momen peristiwa yang sangat penting dalam sejarah gereja, sebuah momentum sejarah yang telah mengubah jalannya sejarah gereja maupun sejarah dunia. Pada hari itu gereja-gereja akan memperingati 500 tahun Reformasi Gereja, yang ditandai dengan dipakunya 95 dalil “protes” Martin Luther terhadap Gereja Katolik Roma.
Peristiwa Reformasi terjadi pada saat yang sangat tepat dalam waktu Tuhan (kairos). Reformasi bukanlah agenda Martin Luther, John Calvin, Ulrich Zwingly, Philip Melancton, Theodorus Beza. Reformasi adalah agenda Tuhan yang selama ini sepertinya membiarkan Gereja jatuh sangat dalam, bahkan sampai pada titik terendah dalam sejarah. Kita hampir-hampir tidak dapat mempercayai apakah Gereja Abad-abad Pertengahan masih berstatus Gereja Yesus Kristus atau bukan. Pada kenyataannya pemimpin Gereja yang mengaku dirinya sebagai “wakil Kristus” justru bertindak seperti “anti-Kristus.” Reformasi adalah kisah bagaimana Tuhan sanggup memakai satu orang saja untuk memulai perubahan dan pembaruan dalam Gereja. Tetapi sebelum satu orang ini muncul, Tuhan telah mempersiapkan segala sesuatu untuk mewujudkan agenda-Nya. Reformasi yang telah dimulai oleh Luther segera menyebar dan mempengaruhi seluruh Eropa (terkecuali Spanyol dan Portugal). Kemudian muncul jugalah tokoh-tokoh yang sangat berpengaruh dalam Reformasi sehingga mereka juga disebut para Reformator Gereja (Calvin, Zwingly, Melancton, dll.).
Teologi Reformasi
Pemikiran teologis para Reformator ini kemudian membentuk suatu sistem teologi yang disebut teologi Reformasi. Teologi Reformasi sendiri adalah pokok-pokok ajaran atau teologi yang dikemukakan oleh para Reformator tersebut di atas. Pemikiran teologis yang paling berpengaruh dalam kehidupan Gereja kemudian yang akhirnya di sebut Gereja-gereja Prostestan adalah pemikiran teologis Luther dan Calvin. Luther sendiri berjasa kepada Philip Melanchton. Melanchton adalah kawan seperjuangan Luther, seorang ahli bahasa Yunani, filsafat dan teologi. Ia mambantu Luther dengan segenap tenaganya. Melanchton adalah ahli dogmatika terbesar dari Reformasi di Jerman. Dialah yang menyusun secara sistematis pemikiran-pemikiran teologis Luther dalam “Pokok-pokok Teologi.” Namun pengaruh pemikiran-pemikiran teologis Calvin yang termuat dalam “Institutio” melebihi pemikiran teologis para Reformator lainnya, sehingga (teologi) Reformed menjadi nama dari teologi Calvin yang dikenal juga dengan Calvinisme. Tetapi baik Lutheran maupun Calvinisme, kedua-duanya bukanlah hasil pemikiran sendiri. Luther mencetuskan Reformasi Gereja bertitik tolak dari pernyataan Alkitab bahwa “orang benar akan hidup oleh iman.” Sedangkan teologi Calvin terinspirasi oleh tulisan bapa Gereja Augustinus. Sebelumnya dari tahun 1490 sampai 1506, kakak beradik Amerbach mengadakan penyuntingan terhadap sebelas jilid dari kumpulan tulisan Augustinus dan menerbitkannya di Basel Swiss, sehingga orang-orang dapat membaca karya tulis penting ini termasuk para reformator, Luther dan lebih khususnya Calvin. Boleh dikata bahwa Calvin-lah yang paling berminat dengan tulisan-tulisan Augustinus ini, karena teologi Calvin dibangun di atas dasar teologi Augustinus.
Calvin memperoleh inspirasi tentang kedaulatan Allah dan predestinasi dari Augustinus. Doktrin Augustinus tentang kedaulatan Allah dan predestinasi dapat diringkas sebagai berikut: Sebelum penciptaan dunia, Allah telah merancang suatu ketetapan untuk menebus sejumlah orang tertentu di dalam Kristus dan menerapkan kepada mereka kasih karunia-Nya. Itu adalah satu “kehendak baik-Nya yang menyenangkan,” yang tidak ada hubungannya dengan jasa baik manusia, sekalipun memang hal itu ada dan Allah dari dahulu telah melihatnya terlebih dahulu. Ketetapan Allah menjadi dasar kehendak baik itu diberikan kepada orang ini atau orang itu. Predestinasi adalah sebab dari keselamatan. Hanya bagi orang-orang pilihan akan mendapatkan “panggilan khusus bagi orang pilihan.” Karena itu, semuanya berada dalam tangan Allah, dan bergantung pada pilihan-Nya. Karena itu, barangsiapa yang berada dalam pengaturan Allah yang Maha kuasa yang telah diketahui terlebih dahulu, ditentukan terlebih dahulu, dipanggil, dibenarkan, sekarang mejadi putera-putera Allah dan bagaimanapun tidak mungkin dapat binasa. Sebaliknya orang-orang yang tidak ditentukan terlebih dahulu akan jatuh menjadi reruntuhan sebagai bagian dari orang-orang yang akan binasa. Bahkan sekalipun mereka tampak sebagai seorang Kristen sejati, dipanggil, dibenarkan, dilahirkan kembali melalui baptisan, dibaharui, mereka tidak akan selamat, karena mereka tidak dipilih. Kesalahan bukan pada Allah, tetapi pada mereka sendiri, sebagaimana mereka hanya tetap tinggal berserah pada nasib yang tepat bagi mereka.
Ketika Augustinus ditanya mengapa Allah memilih sebagian untuk diselamatkan dan sebagian masuk dalam penghukuman, ia menjawab bahwa itu adalah kehendak Allah yang misterius. Ketika Ia dihadapkan dengan keberatan-keberatan yang logis, ia menjawab semakin sukar hal ini dimengerti, semakin patut dipuji iman orang yang mempercayainya. Semua pemikiran Augustinus ini sangat mempengaruhi teologi Calvin. Tidak ada pemikiran Augustinus yang tidak mempengaruhi Calvin, bahkan termasuk konsep Augustinus mengenai The city of God yang kemudian “dipaksakan” pada pemerintahan theokrasi di Jenewa, di mana ia harus menyingkirkan oposisi-oposisi terberatnya, ada yang diusir dari Jenewa tetapi tidak sedikit juga yang dibunuh untuk memuluskan cita-cita Augustinus yang membara di dada Calvin.
Pada dasarnya teologi Calvin adalah usaha mengembalikan Gereja pada teologi abad-abad (lima abad) permulaan Gereja, di mana substansinya adalah pemikiran-pemikiran teologis patristik (Bapa-bapa Gereja), dan yang terbesar diantaranya adalah pemikiran Augustinus yang telah mempengaruhi Gereja selama 1300 tahun. Sebelumnya perlu dipastikan bahwa pusat kepercayaan Calvin yang mendasari teologinya tidak lain daripada pusat kepercayaan Luther, yakni pembenaran orang berdosa oleh Yesus Kristus, hanyalah oleh iman saja. Luther menulis, “Alasan mengapa beberapa orang tidak mengerti mengapa hanya iman saja yang membenarkan adalah karena mereka tidak mengetahui apakah iman itu.” Kemudian Luther membuat menjelaskan dalam tiga poin bagaimanakah iman yang membenarkan itu. Yang pertama adalah bahwa iman yang dengannya manusia berdosa dibenarkan bukanlah semata-mata pengetahuan historis melainkan kepercayaan dan keyakinan yang sungguh bahwa Kristus telah dilahirkan untuk kita secara pribadi, dan menggenapi untuk kita pekerjaan keselamatan itu. Yang kedua menyangkut iman sebagai kepasrahan. Iman bukanlah sekadar hanya percaya bahwa sesuatu adalah benar tetapi iman yang siap untuk bertindak atas dasar kepercayaan itu dan menyandarkan diri kepadanya. Analoginya adalah iman bukanlah semata-mata hanya percaya bahwa ada sebuah kapal, tetapi iman berarti kita naik dan masuk ke dalam kapal serta memasrahkan diri kita kepadanya. Yang ketiga adalah iman mempersatukan orang percaya dengan Kristus. Iman bukanlah suatu jawaban “ya” terhadap suatu ajaran yang abstrak, tetapi iman adalah suatu “cincin kawin” yang menunjuk kepada komitmen bersama dan kesatuan antara Kristus dan orang percaya.
Tiga pokok tentang definisi iman yang mendatangkan pembenaran menurut Luther di atas kemudian dipelajari dan dikembangkan oleh para Reformator lainnya, seperti Calvin, yang menunjukkan bahwa Luther telah memberikan kontribusi yang fundamental pada perkembangan pemikiran Reformasi. Menurut saya inilah pokok teologi Reformasi yang paling alkitabiah. Tuhan memakai Luther untuk memurnikan ajaran Alkitab khususnya soteriologi dari semua penyimpangan selama Abad-abad Pertengahan. Calvin secara pribadi senantiasa sangat menghormati Luther sebagai gurunya. Bagi Calvin, Luther adalah seorang Pembaru Gereja yang jauh lebih tinggi daripada Zwingly, tetapi pada pihak lain Calvin justru lebih mendekati Zwingly terutama dalam pokok teologi Calvin yakni kedaulatan Allah dan predestinasi yang diperolehnya dari Augustinus. Walaupun Luther mempercayai apa yang dikemukakan Calvin namun makin lama Luther tidak pernah menyinggungnya lagi karena ada kesukaran-kesukaran yang tidak terjawab. Pada perkembangan selanjutnya jurang pemisah antara Lutheran dan Calvinisme semakin lebar dan tidak mungkin dapat dipersatukan. Bagi Lutheranisme akhir abad ke-16, pemilihan berarti suatu keputusan manusia untuk mengasihi Allah, bukan keputusan Allah untuk memilih individu-individu tertentu. Pada akhirnya Lutheranisme lebih condong kepada Arminianisme daripada Calvinisme.
Implikasi Teologi Reformasi Terhadap Perkembangan Misi Gereja Pada Era Reformasi
Menilik pada sejarah Gereja, Reformasi Gereja dan teologi yang dihasilkan oleh para Reformator tidak memberikan kontribusi besar pada bidang Misi. Boleh dikata bahwa para Reformator, Luther, Calvin dan Zwingly hampir sama sekali tidak memberikan perhatian kepada misi Gereja. Sehingga teologi yang mereka hasilkan bersih sama sekali dari Misi. Bahkan dalam berbagai katekismus dan kredo hampir-hampir tidak ditemukan tentang Misi. Contohnya dalam Pengakuan Iman Westminster (1647) yang paling luas dipakai dalam lingkungan Gereja-gereja Protestan, yang diramu oleh 121 hamba Tuhan dan teolog puritan dalam 1163 kali pertemuan, sama sekali tidak memiliki unsur Misi. Dengan demikian teologia Reformasi sebenarnya tidak memiliki implikasi positif terhadap misi. Hal ini dapat dibuktikan bahwa selama 300 tahun sejak Luther mengguncang Eropa dengan Reformasi tidak ada kegiatan misi yang berarti yang telah dilakukan oleh gerakan ini. Inilah yang disebut dengan masa “pengabaian besar” (Great Omission) dalam sejarah Gereja Protestan.[1]
Misi seakan-akan bukan hal yang terpenting dalam Reformasi Gereja dan dalam teologi Reformasi. Hal ini berbeda sekali dengan Gereja Katolik Roma. Khusus dalam hal semangat untuk menyebarkan Injil, kita patut menghargai Gereja Katolik Roma walaupun tidak sepenuhnya dihargai karena ada tujuan duniawi di samping tujuan rohani dari Misi/Pekabaran Injil. Jangan dilupakan bahwa Eropa khususnya Eropa barat di-Kristenkan karena semangat misi Gregorius Agung yang diakui sebagai paus pertama Gereja Katolik Roma. Gregorius-lah yang menyadari kesalahan Gereja abad ke-3 sampai abad ke-6 yang berhenti melaksanakan Amanat Agung Yesus. Gereja pada abad-abad itu lebih disibukkan berdebat dan melawan serta mengutuk bidat tapi melupakan tugas panggilan utamanya di dalam dunia ini yaitu memberitakan Injil. Gregorius memulai kegiatan misi di Eropa dengan mengirim dan menyokong penuh misionaris-misionaris yang mengabdikan diri dan mempertaruhkan nyawa bagi pekerjaan misi, antara lain Augustinus (bukan Augustinus bapa Gereja) dan Bonifatius yang berhasil memenangkan tanah Jerman dan sebagian Belanda (Frisia). Bonifatius mati syahid di tanah Belanda.
Kesadaran dan kegiatan misi Gereja Katolik Roma kembali bangkit pada abad keenam belas (16) setelah tertidur berabad-abad lamanya, sebagai respons terhadap Reformasi Protestan. Hasil respons Gereja Katolik Roma terhadap Reformasi disebut kontra-Reformasi. Kontra-Reformasi adalah usaha Gereja Katolik Roma untuk mengimbangi Reformasi. Kontra-Reformasi dalam Gereja Roma Katolik membangkitkan suatu gairah misioner yang luar biasa. Walaupun didasari oleh sistem teologi yang keliru dalam GKR, misionaris-misionaris GKR menyerbu daratan Asia dan Amerika dengan penuh pengabdian kepada pekerjaan itu. Sebutlah nama Fransiskus Xaverius, seorang misionaris Yesuit yang pernah melayani di Maluku Indonesia, di situ ia membaptiskan beribu-ribu orang dalam waktu lima belas bulan pelayanannya. Kota Goa di pantai barat India menjadi pangkalan misi ordo Yesuit yang dipimpin oleh Xaverius. Dari sana ia mengutus banyak misionaris. Di antara mereka ada yang mati diracun, ada yang pulang karena usahanya tidak berbuah. Iklim buruk dan makanan kurang. Kaum Muslim tak putus-putusnya mengganggu jemaat-jemaat yang baru dirintis serta gangguan dari laskar dan saudagar Portugis yang menghalangi pekerjaan Misi. Di Amerika ada seorang misionaris dari ordo Dominikan bernama Las Casas. Ia membela penduduk asli Amerika yaitu orang-orang Indian yang diperlakukan tentara penjajah Spanyol dengan bengis. Dengan tak kenal lelah ia menyatakan bahwa orang-orang Indian pun adalah makhluk Allah dan ia membela mereka sampai dalam suatu perdebatan di depan raja Spanyol. Selain mereka ada juga Matius Ricci yang mengabarkan Injil di China dan De Nobili di India.
Pada abad ke-18 dua abad sesudah Reformasi, di Jerman dan Belanda muncullah gerakan Pietisme di dalam gereja-gereja Protestan. Pietisme semacam gerakan reformasi kecil yang muncul sebagai reaksi terhadap suasana Gereja yang suam-suam dan terhadap semangat duniawi yang merajalela di dalam masyarakat Kristen. Orang Pietis sangat menyesalkan sifat intelektualistis watak khotbah-khotbah yang diperdengarkan di mimbar-mimbar Gereja, baik di Gereja Lutheran di Jerman, maupun di Gereja Calvinis Belanda. Menurut mereka, belum cukup, jikalau hanya ajaran murni dan dogmatik ortodoks dalam hal ini teologi Reformasi saja, yang disampaikan, yang hanya memuaskan otak, tetapi tidak memberi kebangunan rohani kepada jiwa. Khotbah-khotbah isinya adalah indoktrinasi belaka. Akibatnya kebanyakan anggota jemaat walaupun masih mengindahkan iman Kristen tetapi hanya tinggal perkara lahiriah saja yang tidak menggerakkan hati lagi dan kurang dipraktekkan dalam hidup kekristenan sehari-hari. Pendeknya Pietisme tidak terlalu suka dengan penekanan pada teologi melainkan kepada kesalehan atau praktek hidup yang kudus.
Gerakan Pietisme secara umum tidak diterima dalam Gereja-gereja resmi (Lutheran dan Calvinis). Pietisme dianggap gerakan di samping Gereja bukan di dalam. Pietisme mendapatkan banyak perlawanan karena penekanannya kepada kesalehan dipandang sebagai “jasa” di mana teologi Reformasi sangat menekankan pada teologi anugerahnya (sola gratia). Walaupun demikian Pietisme sebenarnya membawa berkat besar dalam Gereja Protestan, karena kaum Pietis-lah yang pertama kali menyebarkan Protestantisme ke luar Eropa. Salah satu orang Pietis yang sangat berjasa dalam hal Pekabaran Injil adalah August Herman Francke. Atas usaha Francke, banyak anggota Gereja Lutheran yang insaf bahwa Tuhan mengutus mereka masuk ke dalam masyarakat umum untuk memberitakan keselamatan kepada segenap rakyat dan untuk mencari yang hilang. Dengan demikian Francke menjadi perintis bagi “Pekabaran Injil dalam negeri.”
Tidak hanya Pekabaran Injil dalam negeri, kaum Pietis juga mulai membawa Injil ke luar negeri. Kaum Lutheran sendiri menyangka, bahwa bukanlah maksud Tuhan, supaya mereka mengabarkan Injil kepada bangsa lain, melainkan supaya masing-masing bekerja dengan setia di tempat yang telah ditentukan Tuhan baginya.[2] Ketika raja Denmark membutuhkan misionaris-misionaris untuk daerah jajahannya di India, ia menemukan dua orang misionaris muda, Ziegenbalg dan Plutschau, yang tidak lain adalah murid-murid Francke. Pekerjaan Misi itu terus berlanjut dan berkembang sehingga kota Halle di Jerman tempat Francke menjadi pendeta, menjadi pangkalan segala usaha Pekabaran Injil Jerman-Denmark di India.
Murid Francke yang berikutnya adalah Zinzendorf. Setelah tamat di sekolah Francke di Halle, ia kembali ke tempat asalnya di Saksen. Pada tahun 1727 Zinzendorf membentuk suatu persekutuan Gereja dan sosial yang dinamakan Herrnhut. Ia akhirnya dibuang dari Gereja Lutheran. Jemaat Herrnhut bentukan Zinzendorf memiliki kerajinan besar terhadap Pekabaran Injil. Ketika Zinzendorf meninggal, jemaat kecil itu mengutus 200 misionaris ke berbagai tempat di dunia. Dengan uang yang sangat sedikit mereka berlayar ke Tanah Hijau di sebelah utara Amerika melayani orang-orang Eskimo, ke Pantai Emas di Afrika, ke Suriname di Amerika Latin, ke Rusia, ke Afrika Selatan dan masih banyak tempat yang lebih jauh termasuk Indonesia hanya dilarang masuk oleh VOC yang menjajah Indonesia. Dengan segala rintangan dan hambatan mereka tetap memberitakan Injil tanpa mengenal lelah untuk dapat “menawan beberapa jiwa bagi Anak Domba.” Kalimat singkat Zinzendorf ini selalu diingat saat mereka mulai menyerah.
Walaupun kaum Pietis merasa dirinya golongan Calvinisme yang paling saleh, tetapi sebenarnya jiwa dan praktek kesalehan mereka sudah menyimpang sekali dari ajaran/teologi Calvin. Jadi dapat disimpulkan bahwa kesadaran dan kegiatan Misi kaum Pietis bukanlah karena pengaruh teologi kedaulatan Allah dan predestinasi Calvin. Justru Gereja-gereja resmi seperti Lutheran dan Calvinis sama sekali tidak bersimpati apalagi mendukung Misi kaum Pietis.
Barulah pada tahun 1797, didirikanlah perhimpunan Pekabaran Injil yang pertama oleh Gereja negara (Calvinis) Belanda, Gereja Hervormd, yaitu Nederlands Zendeling Genootschap (NZG). Inipun bukan karena pengaruh teologi Calvin atau para Reformator lainnya. NZG terbentuk bukan karena kesadaran dari dalam Gereja Hervormd tetapi karena ada pengaruh dari Pietisme yang ada dalam Gereja Hervormd. Joseph Kam “rasul Maluku” (missionaris NZG) adalah contoh pengaruh Pietisme. Kam sangat bersimpati dengan kaum Herrnhut, tidaklah mengherankan bahwa ia sangat berminat menjadi seorang missionaris. Namun yang terutama karena pengaruh Revival di Inggris. Theodorus van der Kemp (yang telah menyaksikan terbentuknya London Missionary Society—LMS, sebagai badan Misi Gereja-gereja di Inggris) kembali ke Gereja Hervormd Belanda dan menganjurkan supaya Gereja Hervormd membentuk suatu badan misi dan terbentuklah NZG.
Menarik untuk diperhatikan bahwa Revival di Inggris yang mempengaruhi Gereja-gereja Calvinis justru digerakkan oleh John dan Charles Wesley dan yang menghidupkan dan menyebarkan Arminianisme yang tidak lain adalah musuh bebuyutan Calvinisme. John Wesley sendiri sangat dipengaruhi oleh kelompok Pietis Herrnhut ketika ia berjumpa dengan kelompok ini tatkala ia berkunjung ke Amerika Utara. Bahkan ia dan adiknya Charles sepulangnya dari Amerika berkunjung ke Herrnhut di Saksen Jerman. Sepulangnya dari sana ia mulai berkhotbah di dalam Gereja Anglikan Inggris. Wesley dan kelompok Metodis-nya memiliki semangat penginjilan yang sangat tinggi, sebagai pengaruh semangat Misi Pietisme Herrnhut. Ada yang berpendapat bahwa Metodisme John Wesley dengan dasar Arminian yang sangat kuat, pada hakikatnya adalah reaksi terhadap Calvinisme ekstrem yang mengusai kehidupan sosial, politik dan keagamaan Inggris pada abad ke-17. Gereja Anglikan yang berjiwa Calvinis kemudian mengusir keluar kelompok Metodis. Sejak itu Wesley bersaudara berkhotbah di luar gedung-gedung Gereja, di lapangan-lapangan, di lorong-lorong kota atau di padang-padang. Dengan demikian dimulailah Revival yang amat indah dan besar di Inggris.
Sebagai pengaruh yang kuat dari Revival itu, maka Gereja-gereja yang merupakan sempalan dari gereja negara Anglikan membentuk badan Misi LMS pada tahun 1795. Barulah pada tahun 1799 Gereja Anglikan membentuk badan Misi sendiri yaitu Church Missionary Society (CMS). Pengaruh Revival Inggris belum berhenti, pada tahun 1807 dibentuk pula British and Foreign Bible Society (Perkumpulan Penyebaran Alkitab di Britania dan luar negeri).
Sebelum LMS, CMS terbentuk, pada tahun 1792 Gereja Baptis di Inggris membentuk Baptist Missionary Society (BMS). Gereja Baptis sendiri adalah sempalan Gereja Anglikan tetapi mendapat pengaruh yang sangat besar dari Gereja Mennonit (Anabaptis) di Belanda. William Carey salah seorang penggagas BMS berangkat ke India. Keberhasilan Misi Carey yang sangat besar di India menjadikannya dihargai sebagai “Bapak Penginjilan Modern” sedunia. Adoniram dan istrinya An Judson menjadi missionaris di Burma (Myanmar) mendirikan gereja Baptis di sana dan menjadi gereja aliran Protestan terbesar di tengah-tengah mayoritas Budha. Jabez Carey, anak William Carey, diutus ke Maluku (1814-1818). Ia sangat dikasihi di sana tapi ia didesak pergi oleh Hindia Belanda karena ia bukan orang Belanda dan juga karena perselisihan teologis dengan Joseph Kam, mengenai baptisan (Kam mempraktekkan baptisan anak). Periode tahun 1813-1857 ada sekitar 20 penginjil Baptis bekerja di Indonesia antara lain Richard Burton dan Nataniel Ward yang masuk ke Tanah Batak tahun 1824. Mereka akhirnya di usir halus dari sana. Ward bertahan di Padang dan menyibukkan diri dalam penerjemahan Alkitab dalam bahasa Batak. Walaupun tidak berhasil mendirikan satupun jemaat Baptis tapi hasil karyanya itu sangat berguna bagi para penginjil dari negara lain yang datang kemudian. Ward juga banyak menginjili orang-orang Nias yang datang ke Padang. Gottlob Bruckner utusan BMS bekerja di Semarang sejak 1816. Ia menerjemahkan PB ke dalam Bahasa Jawa (selesai 1831) dan dengan begitu ia ikut merintis dan mempersiapkan pembentukan jemaat-jemaat di Jawa. Hasil karyanya itu adalah terjemahan Alkitab pertama dalam bahasa daerah di Indonesia.
Seiring dengan bertumbuhnya badan-badan Misi di Inggris dan Belanda sebagai hasil dari Pietisme bercampur dengan Revival di Inggris, terbentuk jugalah badan-badan misi di kalangan Gereja Lutheran di Jerman yang dulu sudah dimulai oleh kaum Pietis Halle dan Herrnhut. Misalnya Rheinische Mission Gesellschaft (RMG) di kota Barmen yang juga dikenal dengan Zending Barmen. RMG mula-mula bekerja di Kalimantan Tenggara, namun karena terbunuhnya empat keluarga missioner dalam perang pemberontakan suku Dayak (Perang Hidayat-1859), pemerintah melarang RMG meneruskan pekerjaannya di situ. Akhirnya RMG menemukan daerah baru yaitu tanah Batak dan Nias. Di daerah inilah RMG memperoleh buah yang sangat lebat berkat semangat dan perjuangan tak kenal lelah dari Ludwig Ingwer Nommensen yang kemudian mendapat julukan “rasul tanah Batak.”
Kembali lagi kepada badan Misi Gereja Hervormd Belanda, sekitar tahun 1860 keluarlah beberapa orang dari NZG dan membentuk badan-badan Misi tersendiri. Yang utama adalah: Nederlandse Zendings Vereniging (NZV) yang bekerja di Jawa Barat dan Sulawesi Tenggara; Utrechtse Zendings Vereniging (UZV) yang bekerja di Irian dan Halmahera; Nederlandse Gereformeerde Zendings Vereniging (NGZV) yang meneruskan pekerjaan Misi di Jawa tengah. Selain itu Gereja-gereja yang keluar dari Gereja Hervormd juga tidak lalai menjalankan misi, yaitu: Christelijke Gereformeerde Kerk mulai bekerja di Sumba. Akhirnya 1892 Christelijke Gereformeerde Kerk dan NGZV bergabung menjadi Gereformeerde Kerken sehingga Misi di Jawa Tengah dan Sumba sekarang berada di bawah badan Zending Gereformeerde Kerken. Di Swiss berdiri juga Basler Mission (BM) di Basel yang meneruskan pekerjaan Misi di tengah-tengah orang Dayak peninggalan RMG.
Kesimpulan
Sebagai kesimpulan saya mengulangi pernyataan saya di atas bahwa sejarah membuktikan bahwa teologia Reformasi hampir-hampir tidak berimplikasi kepada Misi. Selama 300 tahun Gereja-gereja reformatoris sama sekali tidak memiliki kesadaran melaksanakan Amanat Agung Yesus Kristus. Bahkan Gereja-gereja pewaris sah para Reformator justru menyangka bahwa Tuhan tidak menyuruh mereka untuk melakukan Misi keluar kepada bangsa-bangsa yang belum mengenal Tuhan. Nanti pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 barulah muncul kesadaran untuk melakukan Misi. Hal ini pun karena pengaruh Pietisme dan Revival yang justru di usir keluar dari Gereja-gereja reformatoris (resmi) karena dianggap bertentangan dengan teologi resmi Gereja. Ke mana jemaat Jenewa sebagai pusat Calvinisme dan Protestantisme Eropa, ke mana jemaat Zurich sebagai pusat Zwinglian, ke mana jemaat Wittenberg yang menjadi pusat reformasi Luther? Tidak ada satu pun di antara jemaat-jemaat pusat reformasi ini yang dikemudian hari menjadi pangkalan Misi dunia. Hal ini sangat berbeda dengan Gereja Katolik Roma yang justru menggiatkan misi untuk menanggapi Reformasi.
Hal ini memunculkan pertanyaan, kenapa teologia Reformasi tidak mempedulikan Misi? Apakah kepentingan teologi Reformasi hanya untuk mengembalikan Gereja kepada ajaran yang benar (ortodoks) sehingga Misi bukan menjadi prioritas dalam Reformasi? Atau apakah jiwa doktrin “kedaulatan Allah” dan “predestinasi” Calvinisme yang menjadi corak utama dalam khususnya teologi Calvinisme dan teologi Reformasi pada umumnya, membuat Gereja-gereja reformatoris ini menjadi pasif dalam Misi karena berpikir untuk apa Misi jika Allah telah menentukan segala sesuatu, toh mereka yang telah ditentukan selamat pasti diselamatkan dengan atau tanpa Misi? Teolog-teolog Calvinisme membantah pernyataan ini. Palmer berpendapat bahwa doktrin TULIP Calvinisme bukanlah hambatan terhadap penginjilan, tetapi justru merupakan pendorong yang besar bagi penginjilan tersebut. Tetapi sejarah membuktikan sebaliknya. Gereja-gereja Reformatoris di Eropa selama 300 tahun hanya sibuk mengindoktrinasi anggota-anggota jemaatnya. Ironinya mulai abad ke-19 (yang sebenarnya menjadi abad penginjilan dunia) dan seterusnya Gereja-gereja Reformatoris khususnya di Jerman dan Belanda mulai digulung oleh gelombang sekularisasi yang melanda Eropa. Kini semangat Reformasi di Eropa sepertinya sirna tak berbekas. Suatu ironi yang sangat memilukan hati. Inilah yang ditakuti dan disayangkan oleh orang-orang Pietis terhadap Gereja-gereja resmi tersebut, seindah apapun teologi Reformasi tetapi jika itu hanya sampai pada tataran orthodoksi dan tidak dilanjutkan pada tataran orthopraksi, hasilnya adalah seperti yang sudah terjadi di Eropa. Beruntung ada gerakan Pietis dan gerakan Revival Metodis yang menggerakkan Gereja-gereja Eropa membawa Injil ke luar Eropa.
Kepustakaan:
- H. Berkhof dan I.H. Enklaar, Sejarah Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007).
- Th. van den End, Harta Dalam Bejana (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007).
- Christiaan de Jonge, Gereja Mencari Jawab (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994).
- Rick Cornish, Lima Menit Sejarah Gereja (Bandung: Pionir Jaya, 2007).
- Robert Don Hughes, Mari Berpikir tentang Sejarah (Yogyakarta: Yayasan Gloria, 2011).
- Howard F. Vos, Exploring Church History (Nashville: Thomas Nelson Pub., 1994)
- Alister E. McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006)
- Bernhard Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008)
[1] Robert Don Hughes, Mari Berpikir tentang Sejarah (Yogyakarta: Yayasan Gloria, 2011), 189
[2] H. Berkhof, Sejarah Gereja (Jakarta: Gunung Mulia, 2007), 248