by Jefri Wungow, M.Th.
Abstrak
Pernikahan adalah ikatan perkawinan yang sah menurut ketentuan hukum dan ajaran agama. Dua agama besar di Indonesia Islam dan Kristen berbeda pandangan tentang pernikahan beda agama. Islam melalui fatwa MUI mengharamkan sementara Kristen melalui PGI membolehkan. Berdasarkan 2 Korintus 6:14-16, jelas Paulus menolak pernikahan campur ini. Berdasarkan Argumentasi-argumentasi Biblikal, Misiologis serta moral etis seharusnya kita untuk menolak pernikahan beda agama.
Pengertian Pernikahan
Pernikahan merupakan ikatan perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama.[1] Penekanan pada definisi ini adalah bahwa sah atau legalnya sebuah pernikahan atau perkawinan jika memenuhi ketentuan hukum dan agama. Di Indonesia, pernikahan diatur melalui UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama serta telah dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.[2]
Persoalan Pernikahan Beda Agama
Persoalannya kini adalah, bolehkah pernikahan beda agama itu? Masalah ini telah mendapat perhatian serius para ulama, khususnya para ulama Islam melalui Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Munas II pada tahun 1980 telah menetapkan fatwa haram terhadap pernikahan beda agama. Disusul tahun 1989 oleh para ulama NU dalam Muktamar ke-28 di Yogyakarta yang menetapkan fatwa yang isinya menegaskan bahwa pernikahan beda agama di Indonesia hukumnya tidak sah.[3]
Hal ini berbanding terbalik dengan PGI yang mengeluarkan akta KETETAPAN SIDANG MPL-PGI NOMOR 01/MPL-PGI/1989 mengenai Pemahaman Gereja-Gereja di Indonesia tentang Sahnya Perkawinan/Perkawinan Bagi Warga Negara Yang Berbeda Agama. Ketetapan yang dirumuskan di Bogor pada 29 April 1989 berisi bahwa gereja dapat memberkati perkawinan beda agama.[4] Gereja-gereja yang bernaung di bawah PGI khususnya GKJW[5] dan GKI[6] kemudian mengikuti akta ini. Akta ini tentu saja sejalan dengan sikap inklusivisme yang diusung PGI. Tentu saja ini tidak semua gereja setuju termasuk kelompok Injili.
Walaupun PGI membolehkan pernikahan beda agama namun pengaruh MUI tentu saja lebih kuat. Ini terlihat dari keluarnya Kompilasi Hukum Islam, berdasarkan Inpres No. 1 (10 Juni 1991) dan Kep. Menteri Agama Nomor 154 (22 Juli 1991) yang melarang pernikahan beda agama, menjadi hukum positif yang bersifat unikatif bagi seluruh umat Islam di Indonesia dan menjadi pedoman para hakim di lembaga peradilan agama dalam menjalankan tugas mengadili perkara-perkara dalam bidang perkawinan.[7]
Keadaan ini menimbulkan kesulitan bagi pasangan yang ingin menikah tetapi berbeda agama. Akhirnya, berbagai cara ditempuh, demi mendapatkan pengakuan dari negara. Ada beberapa cara yang populer ditempuh pasangan beda agama agar pernikahannya dapat dilangsungkan:
- Pagi menikah sesuai agama laki-laki, siangnya menikah sesuai dengan agama perempuan.
- Salah satu dari calon pengantin baik laki-laki ataupun perempuannya mengalah mengikuti agama pasangannya.lalu setelah menikah dia kembali kepada agamanya.
- Menikah di luar negeri, kemudian mencatatkan pernikahan itu di Kantor Catatan Sipil. Namun perlu diketahui bahwa dengan dicatatkannya perkawinan beda agama yang dilakukan di luar negeri tidak serta merta membuat perkawinan itu sah di mata hukum Indonesia karena KUA/KCS hanya lembaga pencatat perkawinan.
Posisi Pernikahan Beda Agama
“Love is blind,” begitu kata penyair asal Inggris, William Shakespeare. Ungkapan yang termasyhur itu memang kerap terbukti dalam kehidupan sehari-hari. “Cinta buta” dapat diartikan bahwa cinta tidak memandang perbedaan tua atau muda, miskin atau kaya, berpendidikan atau tidak, punya kedudukan atau tidak, bangsawan atau jelata, termasuk perbedaan keyakinan. Saat ini, tidak sedikit orang Kristen yang mengatasnamakan “cinta” berupaya sebisa mungkin untuk menikah dengan orang yang jelas-jelas berbeda keyakinan.
PGI, Gereja Katolik (setelah konsili Vatikan II) dan kelompok-kelompok Islam (seperti “Paramadina) yang mengabsahkan pernikahan beda agama (kawin camper) sangat relevan dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pasal 16 yang menyatakan:
“Lelaki dan wanita yang sudah dewasa, tanpa sesuatu pembatasan karena suku, kebangsaan dan agama, mempunyai hak untuk kawin dan membentuk satu keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dengan hubungan dengan perkawinan, selama dalam perkawinan dan dalam soal perceraian.”[8]
Sangat jelas bahwa posisi kelompok-kelompok yang mendukung kawin campur mendasarkan dukungannya semata-mata karena pertimbangan HAM. Khususnya PGI dan Katolik, kesediaan mereka memberi dukungan kepada pernikahan beda agama disertai dengan “rekonstruksi” (penafsiran ulang) atas ayat-ayat Alkitab yang dengan tegas melarang “kawin campur,” seperti 2 Korintus 6:14, serta mencari dukungan alkitabiah seperti Kidung Agung 8:6-7 “….karena cinta kuat seperti maut, kegairahan gigih seperti dunia orang mati, nyalanya adalah nyala api TUHAN! air yang banyak tak dapat memadamkan cinta.” Dengan alasan “cinta kuat seperti maut” ini maka cinta tak dapat dipisahkan oleh aturan buatan manusia.
Respons Kristen Injili Terhadap Pernikahan Beda Agama
Pernikahan beda agama memang tidak dapat dihindari pada suatu komunitas yang memiliki kemajemukan agama, seperti di Indonesia. Ada yang menanggapinya dengan terbuka tetapi yang lain sebaliknya. Bagi Kelompok-kelompok Kristen dan Katolik yang inklusif, maka pengaharaman terhadap kawin campur tidak lagi sesuai dengan spirit zaman ini. PGI dan Katolik dengan jelas menyatakan sikap bahwa mereka tidak lagi berdiri di atas dasar teologi tradisional yang eksklusif. Sikap mereka yang bahkan cenderung pluralis mengandung kesalahan besar karena demi menyesuaikan iman dan teologi Kristen di tengah-tengah kemajemukan agama di Indonesia, mereka telah mereduksi bahkan memutilasi kebenaran Alkitab khususnya prinsip mengenai pelarangan kawin campur.
Untuk menangkal usaha dari pihak-pihak inklusif bahkan pluralis itu maka kekristenan perlu menegaskan kembali penafsiran yang benar atas 2 Korintus 6:14-16. Ayat ini merupakan ayat PB yang paling menonjol dalam pelarangan kawin campur, “Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?” Perintah ini dapat diterjemahkan menjadi, “Hentikan kebiasaanmu menjadi terikat secara heterogen dengan orang-orang yang tidak percaya.” Secara pasti prinsip ini mengacu balik kepada prinsip Allah dalam PL yang nyata dari peraturan Musa dalam Ulangan 22:10 dan Imamat 19:19.[9] Prinsip dalam dua ayat sebelumnya dinyatakan dengan gamblang (tentang pelarangan perkawinan campur) dalam ayat-ayat berikut: Ulangan. 7:1-11; Keluaran. 34:12-16; Maleakhi. 2:10-15; Ezra. 2:59-62; Nehemia. 7:61-64; 13:23-29. Penafsiran ulang yang memperoleh arti yang berbeda terhadap nats-nats ini merupakan pemerkosaan terhadap hukum hermeneutik yang benar.
Orang-orang Kristen disebutkan Alkitab sebagai “ciptaan baru” (2Kor. 5:17), maka secara rohani mereka tidak boleh bersatu dengan orang-orang yang belum percaya yang pada hakikatnya “mati” secara rohani (bdk. Ef. 2:1). Kemustahilan bersatunya (Yun. metoche, artinya berbagi, keterlibatan) orang Kristen dengan orang yang belum percaya dianalogikan dengan kemustahilan bersatunya terang dan gelap atau bersatunya Kristus dan Belial (sebuah sinonim untuk iblis).
Argumentasi Krsiten Injili terhadap Pernikahan Beda Agama
Berdasarkan respons Kristen di atas maka kita seharusnya menolak perkawinan campur dengan beberapa argumentasi berikut:
- Adanya ketidaksamaan standar moral etis dalam sebuah keluarga. Sangat mungkin hal ini menjadi awal dari sebuah bencana besar dalam hidup berkeluarga, terutama jika keluarga itu berhadapan dengan problem rumah tangga. Misalnya : yang satu mengharamkan perceraian, sementara yang lain mengatakan boleh; yang satu memegang erat asas monogami, yang lain mengatakan boleh poligami asal adil, dan masih banyak masalah yang lain, termasuk menyangkut makanan perihal halal/haram, dan sebagainya.
- Menurut Efesus 5;22-23 dan 1 Korintus 11:3, hierarki dalam sebuah keluarga Kristen adalah Kristus sebagai kepala suami dan suami sebagai kepala istri. Dalam keluarga beda agama, siapakah yang menjadi Kepala keluarga? Tentu bukan lagi Kristus dan tentu saja ini merusak hierarki yang benar dalam sebuah keluarga. Hierarki keluarga Kristen akan mendatangkan kebahagiaan yang menjadi menjadi salah satu tujuan sebuah pernikahan. Keluarga Kristen saja belum tentu menjadi keluarga yang bahagia lahir batin (jika salah satu merombak hierarki itu) apalagi keluarga yang tidak dibangun dalam hierarki tersebut.
- Namun yang terutama apakah tanpa Kristus menjadi Kepala, keluarga tersebut dapat menjalankan peran dalam menjawab tugas kerasulan (Missio Dei) untuk menjadi garam dunia dan bercahaya bagi Kristus? Saya pastikan itu mustahil.
[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia (jakarta: Balai Pustaka, 2005), 782
[2] Albert Hasibuan, Beberapa Pokok Pikiran Tentang Penyelesaian masalah “perkawinan campuran, dalam Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan dalam perspektif Kristen (Jakarta:BPK GM, 1994), 77-79
[3] www.republika.co.id › Dunia Islam › Nusantara
[4]Pdt. Andri Purnawan, Nikah Beda Agama, Mungkinkah? www.gkjwcaruban.org/….
[5] Tata dan Pranata Greja Kristen Jawi Wetan, Majelis Agung GKJW, 1996
[6] Pdt. Purboyo W. Susilaradeya, Pernikahan Beda Agama Dalam Perspektif GKI
[7]muhakbarilyas.blogspot.com › Masailul Fiqhiyyah
[8] tafany.wordpress.com/…/pernikahan-beda-agama-tinjauan-hukum-islam
[9] Charles F. Pfeiffer, ed., The Wycliffe Bible Commentary vol. 3 (Malang: Gandum Mas, 2001), 683
very nice put up, i certainly love this web site, carry on it Sada Benson Clary