PENELITIAN RETORIK TERHADAP KITAB RUT by: Jefri Wungow

Abstrak

Penelitian retorik merupakan bagian dari penelitian Sastra kontemporer. Salah satu dari yang berusaha untuk mendekati teks secara sinkronik yaitu pemusatan perhatian pada teks dan konteks di dalam Alkitab itu sendiri, berbeda dengan cara menafsir Penelitian Sejarah yang bersifat diakronik yang memusatkan perhatian pada konteks-konteks di luar teks Alkitab. Penelitian retorik terhadap kitab Rut menemukan situasi yang terbalik dari situasi yang digambarkan narator kitab Hakim-hakim juga menampilkan  ideologi yang terbalik dari kitab Hakim-hakim. Dalam kitab Rut, narator mengungkap sebuah ideologi yang begitu unik yaitu penghargaan terhadap wanita di tengah-tengah buadaya dan ideologi yang tidak ramah terhadap wanita seperti yang ditampilkan dalam kitab hakim-hakim.

Pengertian Penelitian Retorik

Apa itu penelitian retorik (Rhetorical Criticism)? Bagi kebanyakan orang istilah ini masih sangat asing. Dalam perkembangan ilmu tafsir (hermeneutika) Alkitab yang terus-menerus mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan zaman, telah muncul berbagai pendekatan atau penelitian terhadap Alkitab.

            Munculnya pendekatan-pendekatan baru ini merupakan perkembangan yang tidak dapat dihindari seiring semangat perkembangan zaman, sehingga dapat dikatakan berkesinambungan. Artinya, ada kaitan antara ilmu tafsir yang dikembangkan kemudian dengan ilmu tafsir yang sebelumnya. Bisa juga karena adanya pergumulan-pergumulan yang belum selesai atau belum memuaskan, sehingga diteruskan untuk dicarikan solusinya, salah satunya dengan mengambil arah berpikir yang berlainan dengan arah penelitian yang berkembang sebelumnya.

Pada sekitar tahun 1980-an, para ahli sastra Perjanjian Lama memulai proyek penafsiran Alkitab yang menandai hadirnya Penelitian Sastra kontemporer. Pendekatan baru ini merupakan perubahan yang cukup mendasar dari pendekatan yang dipakai era sebelumnya terutama Penelitian Sejarah (Historical Criticism). Jika Penelitian Sejarah berfokus kepada sumber-sumber dan aspek-aspek eksternal Alkitab, maka penelitian sastra sebaliknya. Jika Penelitian Sejarah bertujuan menemukan fakta-fakta historis yang melatarbelakangi teks Alkitab, maka Penelitian Sastra diarahkan pada keberadaan teks secara internal; unsur-unsur di dalam teks sebagaimana yang kita miliki sekarang itulah yang coba diurai, digali dan diselidiki. Cara menafsir dalam Penelitian Sastra ini bersifat sinkronik (karena pusat perhatiannya ada pada teks dan konteks di dalam Alkitab itu sendiri), berbeda dengan cara menafsir Penelitian Sejarah yang bersifat diakronik (karena perhatian pada konteks-konteks di luar teks Alkitab). Salah bentuk dan wujud dari Penelitian Sastra tersebut adalah Penelitian Retorik.[1]

Penelitian Retorik bertitik tolak dari asumsi bahwa teks Alkitab tidak bersifat netral, dalam artian teks Alkitab itu dipakai untuk menyampaikan atau meyakinkan ideologi tertentu kepada pembaca atau pendengarnya. Sehingga bentuk-bentuk kesusastraan yang dipakai pun digunakan sedemikian rupa untuk mendukung maksud tersebut.

Hubungan Penelitian Retorik dengan Narator Alkitab

Melihat dari naturnya, Penelitian Retorik berkaitan erat dengan naratologi (salah satu bentuk pendekatan sastra yang khusus diaplikasikan pada cerita atau narasi). Dalam Penelitian Retorik, narator mendapat perhatian penuh sebagai salah satu aspek narasi yang sangat menentukan. Yang harus disadari bahwa narator yang hadir sebagai suara yang menghadirkan narasi/cerita seperti yang kita baca dalam teks, tidak hanya sekadar melaporkan sebuah peristiwa apa adanya atau menceritakan ulang begitu saja peristiwa yang ia dengar, namun ia pun terlibat di dalam memberikan kesan tertentu kepada pembacanya lewat narasi-narasinya.[2]

Tujuan utama narasi Ibrani bukan obyektivitasnya meski juga bukan cerita dongeng tanpa basis historis, melainkan pembinaan iman. Narator Alkitab bertindak sebagai teolog bukan sejarawan sehingga tidak ada kewajiban bagi narator Alkitab untuk menyajikan seluruh fakta dan data secara lengkap. Hanya yang perlu demi tujuan pembinaan iman itu saja yang dilaporkan narator. Fakta-fakta yang tidak relevan dengan sendirinya akan diabaikannya. Bagian yang menurutnya penting disinggung dengan detail, bagian lain asal lewat saja. Narator juga bebas menyusun kembali urutan kronologis suatu peristiwa. Semua dilakukan demi tujuan teologis yang ingin dicapainya. Oleh sebab itu  sebagai pembaca dan penafsir masa kini kita harus berhati-hati untuk tidak terlalu cepat memberi komentar atau menambah-nambahi sendiri informasi minim yang diberikan narator. Sebaliknya, detail peristiwa atau tokoh tidak boleh diabaikan.[3]

Narator hadir tanpa dibatasi ruang, memiliki pengetahuan tanpa batas, dan tahu apa saja termasuk apa yang dipikirkan dan dirasakan Allah. Narator, misalnya. Tahu perasaan Allah terhadap Salomo, “Tuhan mengasihi anak ini” (2Sam. 12:24). Ia tahu rencana Tuhan, “Tuhan telah memutuskan bahwa nasihat Ahitofel yang baik itu digagalkan, dengan maksud supaya Tuhan mendatangkan celaka kepada Absalom” (2Sam. 17:14). Narator seolah-olah bisa hadir di mana saja termasuk di tempat rahasia sekalipun sehingga ia bisa mengetahui pembicaraan yang amat rahasia antara Amnon dan Yonadab (2Sam. 13:4-5), menyaksikan Amnon memperkosa Tamar (13:14). Narator juga seolah-olah hadir dalam kamar raja Daud sehingga ia tahu bahwa raja tidak bersetubuh dengan Abisag, selirnya yang cantik (1Raj. 1:4).

Salah satu hal yang juga penting dalam Penelitian Retorik adalah persoalan sudut pandang (poin of view atau localisation). Sudut pandang ialah cara memahami sebuah peristiwa dan tanggapan khas terhadap kejadian tertentu baik dari narator maupun karakter atau tokoh cerita.[4] Narator tidak semata-mata menyajikan sebuah laporan. Pembaca tidak begitu saja dibiarkan mengartikan sendiri peristiwa yang dituturkan narator. Dengan berbagai cara, pembaca diarahkan untuk memandang tokoh atau peristiwa itu dari sudut pandangnya (point of view). Itulah retorika, berusaha meyakinkan pembaca agar mereka percaya pada ide yang disampaikan.

Penelitian Retorik Terhadap Kitab Rut

            Kitab Rut ini dinamakan sesuai dengan tokoh atau karakter utama dalam kitab ini yaitu Rut, orang Moab yang menikah dengan anak laki-laki Elimelekh dan Naomi, keluarga Yehuda Betlehem yang mengungsi ke Moab karena kelaparan di sana. Dalam kanon Ibrani/Tradisi Yahudi (TaNaKh), Kitab Rut ditempatkan dalam kumpulan “Kitab-kitab” (Ketuvim) tetapi LXX (Septuaginta/Kanon Yunani), yang diikuti oleh Vulgata dan Terjemahan Baru LAI, menempatkan kitab Rut tepat setelah kitab Hakim-hakim, sebab kisah kedua kitab tersebut terjadi pada era yang sama.[5]  

Penilaian Narator

            Narator memulai kisah Rut dengan keterangan latar belakang kisah ini yaitu terjadi “Pada zaman para hakim memerintah” (1:1). Selanjutnya narator langsung melaporkan tentang keadaan pada zaman para hakim itu yaitu terjadi kelaparan di tanah Israel khususnya di sebuah kota kecil Betlehem di daerah suku Yehuda. Seakan-akan narator ingin menarik benang merah keadaan Israel pada zaman Hakim-hakim (seperti yang pembaca tahu bahwa kitab sebelum kitab Rut adalah kitab Hakim-hakim) suatu masa yang sangat menyedihkan hati, di mana bencana kelaparan sering dikaitkan dengan dosa dan pelanggaran umat Israel terhadap Tuhan (bnd. Yer. 24:1-10, Rat. 5:10). Itulah berita yang diulang-ulang dalam kitab Hakim-hakim.  Narator tidak langsung “menghakimi” Israel tetapi membiarkan pembaca menarik kesimpulan yang sama dengan narator secara tidak langsung bahwa kelaparan itu adalah penghukuman Tuhan (bnd. Hak. 2:10-15; 21:25).

            Tetapi maksud utama narator Kitab Rut ini sama sekali kontras/bertolak belakang dengan maksud narator Kitab Hakim-hakim. Jika narator Kitab Hakim-hakim sangat menekankan kekacauan, kebobrokan moral dan iman, penghukuman-penghukuman Tuhan serta hal-hal negatif lainnya pada masa yang sama dengan Kitab Rut itu, maka narator Kitab Rut justru sebaliknya. Narator ingin memberikan sisi yang berbeda sama sekali dengan Kitab Hakim-hakim. Narator ingin menyampaikan kepada para pembaca bahwa di zaman Hakim-hakim itu masih terdapat pula kejadian-kejadian yang mulia tentang kasih dan kesusilaan serta keimanan yang tinggi, yang menuntut pengorbanan diri yang luar biasa dari seorang wanita Moab bernama Rut.[6] Jika narator kitab Hakim-hakim berusaha membandingkan zaman hakim-hakim dengan dengan zaman raja-raja (Hak. 21:25), maka narator kitab Rut berusaha membandingkan tokoh Rut dengan kebanyakan orang Israel pada satu zaman saja yaitu zaman hakim-hakim. Rut ditampilkan sebagai tokoh pahlawan iman.

            Dalam narasinya, narator sama sekali tidak memberi kesan bahwa zaman hakim-hakim yang terkenal bobrok itu berlaku juga di Betlehem yang menjadi “panggung utama” kisah ini. Hanya pada awal saja dia memberi keterangan singkat mengenai zaman itu (alinea 1). Narator memberi kesan yang sangat kuat bahwa di Betlehem, para penduduknya masih hidup dengan kesadaran penuh akan hukum-hukum moral kesusilaan dan agama seperti yang diatur dalam hukum Taurat. Jadi walaupun pada awalnya narator masih menarik benang merah dengan Kitab Hakim-hakim tetapi selanjutnya ia membawa kitab ini sejauh mungkin dari konteks umum zaman hakim-hakim, di mana orang-orang pada umumnya bertindak menurut apa yang ia pandang benar artinya hidup di luar hukum . Sebagai pembaca aktif saya memiliki praduga bahwa benang merah 1:1 ditulis oleh narator hanya untuk memberikan keterangan waktu sebagai latar belakang kisah yang akan ia tuliskan.

            Selain itu narator juga ingin meyakinkan para pembacanya bahwa perbuatan mulia wanita yang bernama Rut ini, yang telah rela meninggalkan kampung halaman, orang tua, saudara, kerabat bahkan allahnya sendiri demi kesetiaannya kepada mertuanya Naomi (suatu hal yang sangat langkah di tengah zaman yang seperti itu) pasti ada pahala atau upah yang sesuai dengan pengorbanannya (bnd. Mzm. 126:5-6, “Orang-orang yang menabur dengan mencucurkan air mata, akan menuai dengan bersorak-sorai. Orang yang berjalan maju dengan menangis sambil menabur benih, pasti pulang dengan sorak-sorai sambil membawa berkas-berkasnya.”) Kisah mulia ini berakhir dengan  sangat indah, Rut sang wanita kafir mendapatkan kehormatan, namanya terdaftar dengan “tinta emas” dalam daftar leluhur raja kebanggaan Israel, Daud (bahkan tidak berhenti disitu, Rut adalah satu dari empat wanita yang tertulis dalam daftar silsilah Yesus Kristus, Matius 1:5). Hal ini terjadi sesuai doa berkat Boas kepada Rut pada pertemuan pertama mereka dalam 2:12, “Tuhan kiranya membalas perbuatanmu itu, dan kepadamu kiranya dikaruniakan upahmu sepenuhnya oleh TUHAN, Allah Israel yang dibawah sayap-Nya engkau datang berlindung.

Rut Sebagai Tokoh Utama

            Hanya ada dua kitab dalam seluruh Alkitab yang memakai nama wanita, Rut dan Ester. Namun keduanya mempunyai ciri yang sangat kontras. Rut adalah wanita kafir yang bersuamikan seorang Israel yang menjadi leluhur raja Daud, sedangkan Ester adalah wanita Israel yang bersuamikan raja bangsa kafir. Namun kitab Rut sangat unik, karena inilah satu-satunya kitab dalam Alkitab yang seluruhnya menceritakan riwayat seorang wanita, yang pada kenyataannya keturunan bangsa kafir.

            Narator mengisahkan sebuah ironi. Sementara kebanyakan orang di Israel yang sebenarnya adalah umat Tuhan sendiri berlaku murtad (secara nasional) di mana mereka selalu berpaling dari iman monoteisme (YAHWE) mereka kepada penyembahan berhala (politeisme), justru Rut yang sebenarnya adalah bangsa kafir, penyembah berhala malah rela meninggalkan tanah airnya yang kafir dan ikut ke Betlehem bersama mertuanya Naomi seorang asli Betlehem dan itu berarti meninggalkan ilahnya dan sekarang berjanji setia untuk menyembah hanya kepada Yahwe saja. Di saat Israel meninggalkan kesetiaan mereka kepada Yahwe, justru Rut menyatakan kesetiaannya untuk menyembah Yahwe saja. 

            Di saat kasih kebanyakan orang menjadi dingin, Rut muncul dengan kasihnya yang radikal kepada mertuanya, radikal dalam arti ia melakukan hal yang sama sekali kontras dengan keadaan pada zamannya baik dilingkungan bangsanya sendiri (contoh sampelnya adalah Orpa menantu lainnya dari Naomi yang tidak rela berkorban dan itu dapat dimaklumi) dan juga di lingkungan bangsa mertuanya. Dari mana diketahui bahwa perbuatan kasih Rut itu begitu radikal? Keterangan mengenai hal ini terdapat dalam 2:11 “Telah dikabarkan orang kepadaku dengan lengkap segala sesuatu yang engkau lakukan kepada mertuamu sesudah suamimu mati, dan bagaimana engkau meninggalkan ibu bapamu dan tanah kelahiranmu serta pergi kepada suatu bangsa yang dahulu tidak engkau kenal.” Jadi ternyata kasih Rut itu telah menggemparkan Betlehem menambah gemparnya Betlehem ketika Naomi kembali dari tanah Moab dengan membawa seorang menantunya (dalam 1:19, “ . . . gemparlah seluruh kota itu karena mereka.” Dalam bahasa Inggris “that all the city was moved about them”, kata “gempar” atau “moved” dalam Bahasa Ibrani hum artinya “to make an uproar” – keramaian, keributan, atau hiruk-pikuk). Kasih Rut tidak hanya menjadi buah bibir di kalangan kaum wanita saja, di mana wanita memang ahlinya, tetapi juga ke sebagian besar penduduk laki-laki di kota itu termasuk Boas. Cerita tentang Rut ini begitu luar biasa sehingga ada orang yang benar-benar menguasai perbuatan Rut kepada Naomi dan kemudian menceritakan “dengan lengkap” kisah itu kepada Boas. Dengan kata lain bahwa kisah Rut telah menjadi inspirasi bagi banyak orang di Betlehem pada waktu itu bahkan sejarah membuktikan, kisah Kasih Rut menjadi inspirasi bagi banyak orang sepanjang sejarah dunia ini, ke mana pun Alkitab yang memuatnya didistribusikan.

Ideologi Yang Menghargai Perempuan

            Seperti sudah disinggung di atas, bahwa narator berusaha membawa sejauh mungkin suasana Kitab Rut dari keadaan pada umumnya zaman hakim-hakim. Jika dalam Kitab Hakim-hakim narator menampilkan tokoh yang sangat merendahkan, menomorduakan perempuan (Hak. 19), maka dalam Kitab Rut, narator membeberkan fakta ideologi yang terbalik, meninggikan derajat perempuan, artinya perempuan diperlakukan dengan penuh hormat dan sangat manusiawi, sesuai hukum yang berlaku, tidak seperti orang Lewi dalam Hak. 19. Hal ini terlihat dari karakter tokoh Boas, laki-laki yang sangat baik hati, berbudi luhur, menghormati hukum-hukum Tuhan dan norma kemasyarakatan waktu itu.

            Menurut peraturan Goel (penebus) bahwa, “Apabila orang-orang yang bersaudara tinggal bersama-sama dan seorang dari mereka mati dengan tidak meninggalkan anak laki-laki, maka janganlah istri orang yang mati itu kawin dengan orang di luar lingkungan keluarganya; saudara suaminya haruslah menghampiri dia dan mengambil dia menjadi istrinya dan dengan demikian melakukan kewajiban perkawinan ipar. Maka anak sulung yang nanti dilahirkan perempuan itu haruslah dianggap sebagai anak saudara yang sudah mati itu, supaya nama itu jangan terhapus dari antara orang Israel” (Ul 25: 5,6).[7]         

            Peraturan ini mewajibkan Boas menebus Rut karena Boas adalah salah satu kerabat dekat mantan suami Rut yang telah meninggal. Boas adalah sang Goel, tapi Boas berada di urutan kedua. Boas kemudian menghubungi Goel urutan pertama (yang namanya tidak tertulis) untuk menebus Rut, tetapi Goel I tersebut tidak mau menebus Rut karena takut “merusak milik pusakaku sendiri” (4:6). Kemudian setelah mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan hukum goel, maka Boas mengambil Rut seorang janda kafir menjadi istrinya. Dari hal ini kita dapat melihat karakter dari Boas. Boas adalah seseorang yang hidup dengan kemurnian hati dalam menaati hukum yang ditetapkan Tuhan bagi mereka. Hal ini sangat berbeda dengan keadaan umum zaman itu bahwa kebanyakan orang Israel sudah tidak peduli lagi dengan hukum-hukum semacam itu, karena hukum-hukum Tuhan yang terutama seperti “jangan ada padamu allah lain dihadapanku” (Kel. 20:3-4) jelas-jelas mereka langgar, mereka tidak pernah jerah selalu menyembah berhala, hal yang paling Tuhan benci.

            Boas melakukan hukum Goel ini, hukum yang salah satu fungsinya melindungi perempuan yang telah menjanda, menunjukkan bahwa Boas sangat menghargai kaum perempuan. Dengan ketulusan, Boas berusaha sekuat mungkin untuk mengabulkan permintaan Rut yang datang kepadanya meminta perlindungan. Bagi Boas, Rut terlebih berharga daripada tanahnya, ia menjadikan  Rut istrinya yang dari padanya Boas memperoleh anak yang menjadi kakek dari Daud, raja Israel yang terbesar.  Kitab ini juga berisi komentar para perempuan Israel kepada Naomi, “Menantumu yang mengasihi engkau telah melahirkannya, perempuan yang lebih berharga bagimu dari tujuh anak laki-laki.” (4:15). Inilah komentar yang sangat meneguhkan bahwa kitab ini memiliki ideologi yang sangat menghargai dan meninggikan derajat perempuan. Perempuan yang saleh lebih berharga dari tujuh anak laki-laki.

Penilaian Pembaca

            Sebagai pembaca aktif yang membandingkan kitab Rut dengan Ulangan 23:3, “Seorang Amon atau seorang Moab janganlah masuk jemaah Tuhan, bahkan keturunannya yang kesepuluh pun tidak boleh masuk jemaah Tuhan sampai selama-lamanya.” maka diperoleh kesimpulan bahwa walaupun Rut adalah seorang perempuan Moab, tetapi dalam kasus ini, Rut adalah pengecualian. Rut justru memperoleh kasih karunia Tuhan, dia bukan hanya diterima baik oleh orang Israel sebagai jemaah Israel tetapi juga ia dihormati Israel sebagai salah satu nenek moyang Daud raja Israel.

            Kisah ini ibarat bintang cemerlang di langit gulita, atau sebuah oase di gurun tandus, atau sebuah mutiara di onggokan pecahan kaca, atau ibarat parfum wangi di tengah kebusukan.

KEPUSTAKAAN

  1. Robert Setio, “Penelitian Retorik” dalam Jurnal Forum Biblika no. 9 (Jakarta: LAI, 1999)
  2. Martin Lumingkewas, “Narasi Ibrani” dalam Diktat Tafsir Perjanjian Lama (Malang: STT Yestoya, t.t)
  3. W.S. Lasor dkk, Pengantar Perjanjian Lama 1 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008)
  4. Andrew E. Hill dan John Walton, Survey Perjanjian Lama (Malang: Gandum Mas, 2008)
  5. The Interlinear Bible The Strongest Strong’s

[1] Robert Setio, “Penelitian Retorik” dalam Jurnal Forum Biblika no. 9 (Jakarta: LAI, 1999), 1-2

[2] Ibid., 2

[3] Martin Lumingkewas, “Narasi Ibrani” dalam Diktat Tafsir Perjanjian Lama (Malang: STT Yestoya, t.t), 5

[4] Setio, Penelitian, 2

[5] W.S. Lasor dkk, Pengantar Perjanjian Lama 1 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), 317

[6] Andrew E. Hill dan John Walton, Survey Perjanjian Lama (Malang: Gandum Mas, 2008), 293

[7] Ibid., 296

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *