TANTANGAN KRISTOLOGI DI ERA POSTMODERN by: Jefri Wungow

Latar Belakang Masalah

Pada parohan kedua abad XX, dunia barat dibombardir oleh suatu pemikiran baru yang segera mengubah pola pikir manusia modern. Pemikiran itu disebut postmodernisme oleh beberapa filsuf barat yang mempeloporinya. Awal perkembangan postmodernisme terjadi dalam dunia akademis tetapi kemudian diterima secara luas oleh masyarakat barat, bahkan kemudian membentuk suatu budaya baru—budaya postmodern—yang dalam perkembangannya budaya itu menjadi identitas masyarakat barat. Dari sanalah pemikiran dan pengaruhnya menyebar ke seluruh penjuru dunia ini dan mencakup semua aspek kehidupan manusia.                                              Hal yang sangat berbahaya dari postmodernisme adalah gagasannya mengenai kebenaran. Bagi para pemikir postmodern, makna kebenaran itu sendiri telah memudar dan tidak utuh lagi. Tidak ada lagi usaha penyelidikan yang bisa berhasil mengenal dan mencapai satu kebenaran. Kebenaran tidak boleh lagi bersifat universal karena kebenaran adalah terikat dengan pengkondisian budaya, psikologi, ras dan gender manusia. Kebenaran hanyalah “apa yang kita buat, baik sebagai individu maupun kelompok.”[1] Dengan kata lain tidak ada kebenaran objektif dan universal; kebenaran semata-mata adalah subjektif oleh karena itu kebenaran harus direlatifkan (relativisme), sebagai lawan dari pemutlakan kebenaran. Selain itu posmodernisme juga mengusung kebebasan radikal; semua orang bebas mengekspresikan dirinya. Semua bentuk dogma akan dipandang sebagai konspirasi untuk mengekang kebebasan manusia.         

Pandangan ini tentu saja sangat bertolak belakang dengan gagasan Kristologi Kristen yang menekankan pada finalitas dan keabsolutan Yesus Kristus. Kristus sebagai manifestasi dari kebenaran mutlak Allah mendapatkan tantangan besar pada era postmodern ini. Di sisi lain kebenaran tentang Kristus ini menyangkut hidup mati kekristenan tetapi di sisi lain kekristenan sedang ditawar bahkan dituntut untuk merombak kebenaran yang telah dianggap usang di era postmodern. Menyikapi hal ini kita seharusnya berkata seperti Martin Luther, “Here, I stand.” Tetapi sayangnya banyak orang Kristen yang menerima tawaran itu dan sekarang sedang giat-giatnya menyerukan orang-orang Kristen lainnya di seluruh dunia untuk “bertobat dari arogansi” doktrin Kristologi Kristen yang menurut mereka superior triumfalistik dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman.    

KONSEP DAN METODOLOGI KRISTOLOGI POSTMODERNISME

Konsep Kristologi Postmodernisme

Seperti telah disinggung pada bagian pendahuluan, gagasan subjektivisme dan relativisme postmodernisme ini juga mempengaruhi pandangan mereka mengenai Kristologi. Yesus Kristus dalam perspektif umum postmodernisme hanyalah sebagai seorang guru yang revolusioner, pemimpin yang penuh belas kasih, dan seorang manusia yang rela mati demi apa yang diyakini-Nya. Sayangnya konteks untuk Yesus Kristus hanya ditemukan di dalam Alkitab yang merupakan metanarasi orang Kristen—penganut  postmodernisme sangat anti dengan konsep metanarasi—sehingga tidaklah perlu menerima atau meninggalkan keseluruhan gambaran alkitabiah mengenai Yesus. Orang bisa dengan bebas mengambil bagian-bagian mana saja yang tampaknya bermanfaat dari kehidupan Yesus, dan meninggalkan yang lain yang dianggap tidak perlu. Orang bisa menerima pribadi Yesus yang penuh kepedulian dan kasih, sembari menolak pribadi Yesus dan yang akan menghakimi dunia[2] dan sebagai satu-satunya Juru selamat dunia.

Pandangan postmodernisme tentang Kristologi yang menyimpang ini justru dikenalkan oleh para pemikir Kristen sendiri. Perubahan dogmatis yang sangat radikal dalam diri mereka terjadi karena mereka bersedia menerima tawaran-tawaran postmodernisme. Tawaran postmodernisme itu sehubungan dengan semangat toleransi radikal akan kemajemukan agama. Kekristenan akan dapat diterima dengan tulus dalam budaya dialogis postmodernisme jika kekristenan bersedia melepaskan diri dari ortodoksi—salah satunya yang terutama adalah ortodoksi Kristologi—yang membuat agama Kristen sangat superior di atas semua agama dan kepercayaan lainnya di dunia. Sehubungan dengan ini saya ingin mengutip tulisan Groothuis, “Lingkungan kita yang kosmopolitan dan pluralistis tidak mengizinkan identitas pribadi yang tetap, atau satu jalan terbaik untuk hodup. Identitas haruslah cair dan fleksibel, agar bisa sesuai (diterima) dengan ciri-ciri budaya postmodern. Tidak ada kebenaran final…”[3]

Orang-orang Kristen yang bersedia menerima tawaran postmodernisme itu sedang bergabung dalam suatu gerakan yang disebut “Pluralisme Agama” dan kelompok “Yesus Seminar” di Amerika utara. Kedua gerakan ini secara perlahan-lahan merongrong dan merusak kekristenan dari dalam dengan cara merekonstruksi teologi Kristen, khususnya Kristologi. Sekali lagi semua  rekonstruksi supaya kekristenan dapat dihadirkan di tengah-tengah masyarakat dialogis dan toleran yang menjadi karakteristik budaya postmodernisme yang majemuk (agama). Eka Darmaputera berkata,  “Dialogue   needs,   of  course,   psychological readiness. But it also needs theological readiness.”[4] Kesiapan teologi dalam konteks postmodernisme berarti “penyesuaian teologi” dengan teologi agama-agama lain. Dengan kata lain bahwa semua hal di dalam teologi Kristen yang dapat menghambat dialog dan yang tidak lagi relevan dengan kemajemukan agama  harus diredefinisi atau bahkan jika perlu direkonstruksi (bahasa mudahnya “dipangkas”). Th. Sumartana menambahkan, “Kita perlu mengakui bahwa tradisi pemikiran teologi agama yang lampau cenderung bersifat negatif … apologetis, defensif dan cenderung menolak kehadiran agama-agama yang lain. Dalam ketegangan tersebut kita sekarang ini berupaya untuk mencari sebuah rumusan teologi agama-agama yang baru yang lebih positif dan kondusif untuk menjawab persoalan-persoalan kemanusiaan.”[5]                                                                                    Dari sini dapat dilihat bahwa musuh besar pluralisme agama  adalah  klaim-klaim kebenaran, khususnya dalam teologi Kristen. Dari kebanyakan karya tulis kaum pluralis, semuanya   sepakat   menolak,   doktrin  Kristologi  yang dirumuskan lewat dua konsili para bapa gereja, konsil Nicea (325) dan konsili Kalsedon (451). Kedua doktrin ini tentu saja  menuntut  finalitas  dan  keabsolutan  Yesus  Kristus. Coward bahwa masalah yang  sangat mendasar dan  menantang  dengan serius fakta pluralisme agama masa kini adalah doktrin Kristologi ini. [6] Oleh sebab itu Kristologi harus direkonstruksi karena tidak menguntungkan bagi budaya postmodernisme.    Tidak ketinggalan Ioanes Rakhmat—seorang teolog Indonesia yang menyebarkan produk teologis Yesus Seminar di Indonesia—memberikan pendapatnya bahwa Yesus sebagai inkarnasi Sang Firman adalah “totus deus” (Allah sepenuhnya) tetapi hanya dalam arti bahwa tindakan-tindakan-Nya dan kasih-Nya  benar-benar  sama  dengan tindakan  dan kasih Allah, Sang Firman, tetapi Yesus Kristus bukanlah “totum dei” (kepenuhan sepenuh-penuhnya dari diri Allah, Sang Firman kekal). Sebagai konsekuensinya menurut Rakhmat bahwa masih ada kemungkinan penjelmaan Allah (inkarnasi) di dalam diri pribadi-pribadi suci lainnya di dunia ini selain Yesus Kristus.[7] Konklusi atas pernyataan Rakhmat di atas adalah Yesus bukanlah Allah dan Ia bukanlah satu-satunya jalan keselamatan karena keselamatan juga dapat dicapai melalui “Jalan-jalan agung” yang lain.                                     John Hick—bapa pluralisme agama—menolak pendekatan “Kristosentris“ terhadap agama-agama lain karena pendekatan ini tidak sesuai lagi dengan konteks zaman. Ia mengusulkan pendekatan “Teosentris“ dimana Allah yang menjadi pusat dari agama-agama yang lain. Oleh karena itu ia menolak peryataan bahwa Kristus adalah satu-satunya jalan, kebenaran dan hidup (Yoh 14:3). Jika Hick diajukan pertanyaan  oleh  Yesus  seperti  yang  diajukan kepada Petrus berikut ini, “Menurut kamu, siapakah Aku ini?” maka Hick memiliki jawaban yang sangat berbeda dengan jawaban Petrus. Jika Petrus menjawab, “Mesias dari Allah” maka Hick akan menjawab bahwa Yesus adalah seorang rabi dari Galilea, tetapi karena pemujaan iman Kristen Ia menjadi Kristus yang  merupakan  proyeksi  ideal dari kebutuhan-kebutuhan spiritual para pengikutnya.[8]            

Keilahian Yesus menurut Hick hanyalah pengajaran gereja mula-mula yang berusaha menafsirkan pengalaman mereka bersama Yesus dengan pernyataan-pernyataan yang memberi tempat yang sangat tinggi bagi Yesus melampaui kenyataan keberadaan Yesus  yang   sebenarnya.  Berdasarkan  wewenang  dari  kritik  PB,  dia  menghilangkan penegasan alkitabiah mengenai keunikan Kristus. Hick setuju pada penafsiran liberal bahwa Yohanes 14:9, 10:30 (dan yang sejenisnya) bukanlah ucapan Yesus, tetapi ucapan yang ditambahkan oleh komunitas gereja purba  sekitar  60  tahun berikutnya setelah Yesus di salib.[9]                          

Hick menggangap konsentrasi iman Kristen  kepada  Kristus  sebagai  klaim  yang palsu dan kepercayaan harfiah terhadap inkarnasi Yesus Kristus adalah suatu kesalahan fatal agama Kristen karena menurutnya Kristus saja tidak pernah mengakui bahwa Ia adalah Allah yang berinkarnasi, oleh  sebab  itu  ia  merasa  heran  akan sikap gereja yang berlagak lebih tahu siapa Yesus daripada diri Yesus sendiri.[10]

Metodologi Kristologi Postmodernisme

Pada intinya Kristologi postmodernisme memakai dua metode pendekatan Kristologi:

1. Kristologi dari bawah (The Christology from below)                       Metode ini adalah usaha atau penelitian untuk memahami “Ketuhanan” Yesus dimulai dari manusia Yesus (dari Nazaret), anak seorang tukang kayu, Yusuf dan istrinya Maria, kemudian bertanya bagaimana caranya sehingga  Ia menjadi  Allah.    Metode  ini disebut juga Vonunten yang mirip dengan Adoptinisme (Yesus menjadi Allah karena diangkat Allah Bapa sejak pembaptisan-Nya). Pendekatan Vonunten ini mendasarkan Kristologi mereka pada “Yesus Sejarah” (Yesus Seminar) yaitu Yesus yang sama sekali berbeda dengan yang terdapat dalam Alkitab (Injil). Penelitian ini berusaha untuk menemukan kembali gambaran dan pengajaran Yesus yang tidak dipengaruhi pandangan para  penulis  Injil. Dengan kata lain bahwa Yesus yang ada dalam empat Injil bukanlah Yesus yang sesungguhnya ada secara historis, melainkan Yesus yang ditangkap oleh iman para penulis Injil. Karena itu bagi mereka Injil penuh dengan cerita rekaan dan mitos belaka.[11]                                         

Markus J. Borg, pakar Yesus Sejarah memberi kesimpulan tentang Yesus, pertama, Yesus sejarah adalah salah seorang manusia roh yang memiliki kesadaran dan pengalaman akan realitas Allah.  Kedua, Yesus  adalah  seorang  pengajar   hikmat   yang menggunakan perumpamaan-perumpamaan untuk mengajar. Ketiga, Yesus adalah seorang nabi sosial sama dengan nabi-nabi Israel kuno. Keempat, Yesus adalah seorang pendiri suatu gerakan pembaharuan atau revitalisasi Yahudi, suatu gerakan yang akhirnya menjadi gereja Kristen perdana. Kesimpulannya adalah Yesus bukan lagi pribadi yang “unik”. 

2. Kristologi Fungsional (Fungtional Christology)                              Para teolog/kaum pluralis berusaha menggiring pemahaman Kristen dari Kristologi  ontologis  (dogma)  kepada  kristologi  fungsional. Yesus fungsional adalah Yesus yang menyejarah, riil, hidup dan berjuang di tengah tantangan masyarakat,[12] Kristus yang selalu hadir dan berkarya di tengah-tengah penderitaan kaum yang termarginalkan (orang-orang miskin, pelacur, pemungut cukai, dll.) Dengan kata lain kristologi ini hanya memberi tekanan kepada karya dan praksis sosial Yesus Kristus dalam realitas manusia dan dunia.                   Kristologi fungsional ini sesungguhnya menjadi “ibu” yang melahirkan Kristologi (teologi) kontekstual seperti Teologi Pembebasan, Teologi Feminisme, Teologi Hitam, Teologi Pengharapan dan Teologi Proses. Khusus teologi pembebasan Asia diadopsi dari teologi pembebasan Amerika Latin yang dijiwai oleh pikiran komunisme.[13] Semua teologi ini menekankan Kristologi fungsional.

PENEGASAN KONSEP KRISTOLOGI ALKITABIAH

Di tengah-tengah usaha pemudaran kebenaran Alkitab oleh postmodernisme yang dimotori oleh gerakan Pluralisme Agama dan Yesus Seminar, kita perlu mengimbanginya dengan penegasan kembali kebenaran Kristen yang didasarkan atas pemahaman Alkitab yang kuat. Groothuis berkata bahwa tanpa pemahaman yang kuat akan Alkitab, tanggapan orang Kristen terhadap postmodernisme akan dibungkam oleh budaya disekitarnya atau bersedia melakukan kompromi-kompromi yang justru merugikan kekristenan itu sendiri.[14]                Penegasan terhadap doktrin Kristologi alkitabiah dititikberatkan kepada keunikan Kristus.  Keunikan Kristus sendiri dapat dirumuskan ke dalam dua kata “final” dan “mutlak”.

Finalitas Kristus                                                                                 Finalitas Kristus berhubungan erat dengan Kristus sebagai wahyu Allah yang terakhir. Di dalamnya tersirat bahwa Kristus adalah satu-satunya jalan menuju kepada Allah sesuai dengan pernyataan-Nya sendiri dalam Yohanes 14:6. Maknanya sederhana tetapi tegas dan pasti bahwa tidak ada kebenaran di luar Kristus. Di luar Kristus hanyalah pengertian dan penafsiran orang tentang kebenaran yang relatif, dapat salah dan terus berubah-ubah. Fakta finalitas Kristus secara ontologis tidaklah bergantung pada pengakuan gereja,  apologetika  orang  Kristen   bahkan  pengalaman   religiusnya.  Finalitas  Kristus terletak pada hakikat diri-Nya sendiri, sebagai Pribadi Kedua Tritunggal Allah yang berinkarnasi, kekal, mahakuasa dan impekabilitas.                            

Kebenaran ontologis ini bersifat a priori (praanggapan) dan merupakan proposisi eksklusif. Proposisi eksklusif ini bersifat a priori dikarenakan kebenaran ini merupakan wahyu dari Allah kepada manusia yang tidak berdasarkan persetujuan manusia apalagi oleh pembenaran rasio manusia. Setuju atau tidak setuju, terima atau tidak terima, Kristus adalah dan tetap sebagai satu-satunya jalan kepada Allah yang dianugerahkan kepada manusia. Penetapan ini berlangsung dalam perundingan Allah dengan diri-Nya sendiri berdasarkan sukacita dan kemuliaan-Nya. Finalitas Kristus adalah kebenaran terakhir bukan karena ajaran-ajaran yang bermoral tinggi atau pengetahuan tentang Allah (sekalipun hal itu benar), tetapi didasarkan pada fakta kematian dan kebangkitan-Nya untuk memperdamaikan orang berdosa dengan Allah.[15]

Kemutlakan Kristus

            Kemutlakan Kristus berkenaan dengan Kristus sebagai kurban satu-satunya yang tidak bercacat terhadap Allah, Sang Hakim. Dalam hal ini karya Kristus di kayu salib adalah satu-satunya cara agar seseorang dapat diampuni dosanya dan mendapat bagian dalam kerajaan sorga. Pada kayu salib, Kristus menyelesaikan permasalahan dosa—yang tidak dapat manusia selesaikan sendiri—sekali untuk selamanya. Jadi kemutlakan Kristus berkaitan dengan Kristus sebagai cara keselamatan satu-satunya bagi manusia dengan kata lain Yesus Kristus adalah Juru selamat dunia. Kristologi Yohanes dan PB umumnya (a.l. Kis. 4:12) menegaskan kemutlakan Kristus dalam hal keselamatan maka dengan demikian menutup segala kemungkinan keselamatan di luar Yesus. Amal dan ibadah yang didengung-dengungkan agama lain sebagai cara untuk lolos dari murka Allah digugurkan demi kemutlakan Kristus. Pekerjaan baik tidak akan dapat menghapus dosa manusia, justru kebaikan manusia tanpa Kristus adalah seperti kain kotor yang memuakkan bagi-Nya. Manusia tidak dapat menyelesaikan dosanya sendiri. Dosa harus diselesaikan oleh “Pribadi” yang lebih besar dari manusia tersebut, lebih besar dari dosa itu sendiri, dan lebih besar dari hukuman dosa yang disediakan dan hanya pribadi Allah-lah yang lebih besar dari semuanya itu.

Kemutlakan Kristus dibuktikan dalam tugas-Nya mengampuni dosa dengan jalan satu-satunya, yaitu menebusnya, sebagai Anak Domba yang tidak bercacat dan yang berkenan kepada Allah, sehingga dapat dikatakan bahwa Allah terpuaskan oleh pengorbanan-Nya. Oleh sebab itu sia-sialah semua usaha manusia untuk mencoba memuaskan Allah dengan caranya sendiri. Allah telah dan hanya terpuaskan dengan pengorbanan Kristus maka dengan  demikian  Allah  tidak lagi  memerlukan  dan tidak menerima cara lain lagi untuk mengampuni dosa manusia. [16] Kebenaran ontologis yang a priori ini memutlakkan Kristus sebagai “Yang satu-satunya”.                                    

ANALISIS KRITIS TERHADAP KONSEP KRISTOLOGI POSTMODERNISME

            Apa hubungan antara kajian Yesus Seminar dengan pluralisme agama? Yesus seminar dibentuk bukan untuk mencari tahu apakah Yesus benar-benar Tuhan atau tidak. Yesus seminar sengaja dibentuk sebagai legitimasi dari para pakar (teolog, sastrawan, dan sejarahwan liberal) untuk merumuskan dasar penolakan mereka terhadap ketuhanan Yesus Kristus dari Nazaret.  The Five Gospel adalah “injil” hasil rumusan Yesus seminar dan menjadi dasar berpijak bagi Christology from below-nya kaum pluralis sekaligus untuk mengganti keempat Injil dan Perjanjian Baru pada umumnya di kalangan kekristenan. Mungkin mereka berharap bahwa masyarakat Kristen dunia akan menyegani dan tidak meragukan kepakaran mereka pada hasil rumusannya itu. Dengan demikian diharapkan kekristenan mulai merubah (rekonstruksi) konsep kristologi mereka dan tidak lagi menyembah Yesus Kristus sebagai Tuhan.[17]

Inilah kesalahan utama dan “dosa kedua terbesar” (setelah menolak Yesus sebagai Tuhan) dari para pakar Yesus sejarah dan kaum pluralis: pengabaian sejarah. Tony Lane berkata, “kita justru harus membaca tentang masa lampau untuk dapat mengerti zaman ini. Orang yang tidak menguasai sejarah adalah bagaikan orang yang lupa ingatan . . . Pengetahuan mengenai sejarah membantu kita untuk lebih mengerti, baik diri kita sendiri maupun mereka yang berlawanan pendapat dengan kita.[18] Hal ini menegaskan bahwa pakar sejarah modern tidak boleh seenaknya mengubah sejarah masa lampau yang sangat jelas itu. Dalam hal ini sejarah kekristenan di mana Yesus menjadi pokok iman karena keunikan-Nya dan kebangkitan-Nya.  The Jesus Seminar adalah tindakan yang sangat melukai sejarah Kristen dan dunia. Karena sehebat dan sepakar apa pun seorang sejarahwan, dia tidak memiliki hak dan kapasitas untuk mengubah sejarah yang telah jelas-jelas diakui oleh orang-orang Kristen bahkan masyarakat kafir purba yang diteruskan dari masa ke masa.                        

Para pakar Yesus sejarah dan kaum pluralis Kristen sepertinya telah “hilang ingatan” karena mereka dengan sengaja melupakan sejarah pergumulan Alkitab dan kekristenan melewati penganiayaan bahkan pemusnahan, dan berusaha menggiring kekristenan pada suatu “sejarah baru” yang sama sekali tidak berdasar karena hanya didasarkan pada suatu hipotesa yang bersifat tidak pasti. Mereka mengabaikan semua kesaksian sejarah kekristenan ini padahal kalau mereka mau jujur dengan sejarah mereka akan menemukan bahwa Yesus sejarah itu sama dengan Yesus yang diberitakan bangkit dari kematian oleh para rasul dan orang-orang Kristen perdana. Kaum pluralis dan para pakar sejarah bahkan kita semua harus merenungkan kembali ucapan Tertulianus ini, “Sebab, siapakah yang–pada waktu melihatnya–tidak tergerak untuk bertanya apa yang menyebabkannya [orang-orang Kristen yang rela mati untuk Yesus]? Siapa yang–setelah bertanya –tidak tergerak untuk menerima iman kami? Kami tidak menginginkan perdebatan yang aneh-aneh setelah menerima Yesus Kristus, tidak pula spekulasi-spekulasi setelah menikmati Injil. Karena iman kami, kami tidak lagi menghendaki kepercayaan-kepercayaan lain. Karena inilah keyakinan kami yang terutama: tiada lagi yang perlu dipercaya di samping iman kami.”[19]      

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa postmodernisme telah memberikan kerugian besar kepada kekristenan karena pengaruhnya yang terwujud dalam gerakan Pluralisme Agama dan Kajian Yesus Sejarah telah banyak mempengaruhi gereja-gereja dan sekolah-sekolah tinggi teologi. Hal ini sangat berdampak kepada teologi/doktrin Kristen itu sendiri. Doktrin Kristologi yang menentukan tegak atau runtuhnya kekristenan berusaha dimutilasi oleh teolog-teolog Kristen sendiri.

Saran

Mengikuti saran dari Groothuis, untuk menghadapi pudarnya kebenaran Kristologi di era postmodernisme, maka orang-orang Kristen harus lebih meningkatkan usaha belajarnya dalam rangka mencari dan menggali kebenaran Alkitab untuk menguatkan, meneguhkan dan mengayakan iman dan keyakinan akan kebenaran Alkitab, dalam hal ini pemahaman Kristologi. Saran berikutnya adalah penegasan kembali kebenaran akan Kristologi ini di gereja-gereja dan sekolah-sekolah Alkitab/teologi. Pemudaran harus dilawan dengan penegasan.

Sumber Pustaka

  1. Douglas Groothuis, Pudarnya Kebenaran (Surabaya: Momentum, 2010).
  2. Mark Tabb (Ed.), Pandangan Dunia: Bagaimana orang-orang memandang Tuhan (Yogyakarta: Yayasan Gloria, 2011).
  3. Eka Darmaputera, “Inter Relationship Among Religious Groups in Indonesia: Peaceful Co-existence or Creative Pro-existence” dalam Masihkah Benih Tersimpan, Ioanes Rakhmat (Ed.), (Jakarta: BPK, 1990).
  4. Th. Sumartana, “Pemikiran Kristen Mengenai Pluralisme Menuju Upaya Merumuskan Teologi Agama-agama di Indonesia” dalam Pluralisme dan Demokrasi , peny. Fridolin Ukur, (Jakarta: Balitbang PGI, 1995).
  5. Harold Coward, Pluralisme (Yogyakarta: Kanisius, 1989).
  6. Jurnal Penuntun, vol.  3, no. 11, Ioanes Rakhmat (Red.), (Jakarta: GKI Jabar, 1997).
  7. John Hick, The Myth of God Incarnate (Philadelphia: Westminster, 1977).
  8. _________An Interpretation of Religion (London: Yale University Press, 1989).
  9. Stevri I. Lumintang, Teologia Abu-abu (Malang: Gandum Mas, 2004).              
  10. Albertus Patty, “Eka Darmaputera dan Pluralisme Agama” dalam Penuntun vol. 9, no. 22, red. Ioanes Rakhmat, (Jakarta: GKI JABAR, 2008).
  11. Togardo Siburian, Kerangka Teologi Religionum Misioner (Bandung: STT Bandung, 2004).
  12. Runtut Pijar (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001).

[1] Douglas Groothuis, Pudarnya Kebenaran (Surabaya: Momentum, 2010), 4

[2] Mark Tabb (Ed.), Pandangan Dunia: Bagaimana orang-orang memandang Tuhan (Yogyakarta: Yayasan Gloria, 2011), 225-226

[3] Pudarnya, Hal. 13

               [4] Eka Darmaputera, “Inter Relationship Among Religious Groups in Indonesia: Peaceful Co-existence or Creative Pro-existence” dalam Masihkah Benih Tersimpan, Ioanes Rakhmat (Ed.), (Jakarta: BPK, 1990), 39

               [5] Th. Sumartana, “Pemikiran Kristen Mengenai Pluralisme Menuju Upaya Merumuskan Teologi Agama-agama di Indonesia” dalam Pluralisme dan Demokrasi , peny. Fridolin Ukur, (Jakarta: Balitbang PGI, 1995), 38, 39

               [6] Harold Coward, Pluralisme (Yogyakarta: Kanisius, 1989), 33

               [7] Penuntun, vol.  3, no. 11, Ioanes Rakhmat (Red.), (Jakarta: GKI Jabar, 1997), 359-360

               [8] The Myth of God Incarnate (Philadelphia: Westminster, 1977), 168-169

               [9] Coward, Pluralisme, 59

               [10] An Interpretation of Religion (London: Yale University Press, 1989), 91

               [11] Stevri I. Lumintang, Teologia Abu-abu (Malang: Gandum Mas, 2004), 142, 146                     

               [12] Albertus Patty, “Eka Darmaputera dan Pluralisme Agama” dalam Penuntun vol. 9, no. 22, red. Ioanes Rakhmat, (Jakarta: GKI JABAR, 2008), 36

               [13] Lumintang, Theologia, 144

[14] Groothuis, 70

               [15] Togardo Siburian, Kerangka Teologi Religionum Misioner (Bandung: STT Bandung, 2004), 95, 96

               [16] Ibid, 98

               [17] Rakhmat, “Kajian”, 107-111

[18] Runtut Pijar (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), x

               [19] Ibid., 13

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *